Kata seorang teman, manusia adalah tempatnya salah dan lupa, dan tempatnya membuat alasan. Berbagai alasan membuat saya enggan bersuara lagi di sini, sampai akhirnya banyak waktu terlewat dan banyak momen tak terabadikan di sini.
2018 berakhir. Dengan emosi nano-nano. Saya lulus, saya wisuda, saya di*****, saya pulang kampung.
Lalu 2019 datang, saya harus menghadapi kenyataan bahwa segalanya tidak bisa sama seperti semula. Lingkungan baru memaksa saya untuk melenturkan hati dan jiwa agar bisa menyesuaikan dengan keadaan dan kembali belajar beradaptasi dengan sedikit melankolis pada awalnya.
Terbiasa menjadi bungsu membuat sikap (sok) manja saya kadang keluar begitu saja (padahal tahun ini saya akan memasuki usia dua enam. Astaga). Apalagi saat saya merasa nyaman dan merasa bergantung pada orang lain. Tentu saja ini merepotkan, termasuk untuk seorang manusia biasa yang saya bebankan dengan ekspektasi dan tuntutan berlebihan. Padahal disaat bersamaan ada banyak urusan lain yang juga menuntut perhatiannya. Lalu saya merutuki hati saya yang terlalu mudah terbawa perasaan dan selalu mencari pembenaran (bahkan dengan menyalahkan hormon menjelang tamu bulanan, dasar!). Akhirnya saya membiarkan badan saya bekerja secara autopilot, mencoba mengabaikan berbagai jenis emosi agar hati saya tetap berada di titik stabilnya. Sambil terus mencoba belajar menikmati setiap momen, dan tentu saja belajar memahami.
Hah, belajar memahami adalah hal yang sangat bosan untuk saya tuliskan, walaupun kenyataannya, saya sampai detik ini belum bisa terealisasi.
Dimulai dari memahami diri sendiri. Lebih banyak bermonolog, mencerna setiap kejadian, dan menarik kesimpulan. Meski tidak jarang berakhir tanpa kesimpulan, dan membiarkannya menggantung. Lalu saya memaksa orang lain untuk memahami. Haha lucu sekali. Saya saja yang sudah hampir 26 tahun menemani diri saya bertumbuh, melihat kepribadiannya berkembang, menemaninya melewati setiap dinamika, masih saja susah memahami, bagaimana mungkin orang lain bisa lebih paham?
Belum lagi sifat plin plan yang sering membuat saya galau berkepanjangan hanya untuk memutuskan satu hal. Terlalu banyak pertimbangan sampai kadang saya lupa bahwa hal terpenting yang harus saya pertimbangkan adalah diri saya sendiri! Setiap inci tapak kehidupan yang saya lewati adalah murni keputusan saya sendiri, yang artinya tanggung jawab sepenuhnya ada di pundak saya. Meski begitu, saya juga masih bergantung pada pertimbangan orang-orang terdekat karena ternyata saya belum sebisa itu untuk menjadi independen.
2019. Merasa semakin kesepian. Aneh memang untuk orang yang memang lebih butuh banyak ruang sendiri seperti saya. Seharusnya saya memang lebih menyukai sepi, bukan? Tapi bukankah semakin dewasa dunia akan semakin sepi? Lingkaran juga semakin kecil dan semakin selektif. Meski begitu saya paham, sangat amat paham, bahwa pertemuan dan perpisahan adalah keniscayaan dalam hidup yang dinamikanya hampir tak bisa ditebak ini. Ah atau mungkin saya saja yang susah bersapa dengan manusia. Lagipula, mereka yang tak terjangkau raga bukan berarti tak ada kan? (ah jadi kangen kalian, teman-teman, saya kesepian di sini)
Belum lagi perasaan ketertinggalan yang memaksa saya untuk berakselerasi mengejar hal yang membuat saya berada jauh di belakang. Berusaha sebisa saya menyesuaikan diri karena ternyata menjalani level ini tanpa persiapan benar-benar membuat saya kalang kabut. Otak mengalami degradasi fungsi dan level kepercayaan diri semakin merosot ke titik ternadirnya. Ternyata jeda panjang bisa berefek seburuk itu.
Anyways, Pernah dengar frasa 'hidup seperti roda kadang di atas kadang di bawah?' Sebuah frasa yang amat klise tapi telah menampar saya berkali-kali. Saya pernah diangkat sangat tinggi, pun dihempas sedemikian dalam. Tapi kali ini saya mencoba mengambil sudut pandang berbeda karena ternyata kita selalu punya pilihan, memandang ke bawah akan membuat kita merasa di atas, dan memandang ke atas akan membuat kita merasa di bawah. Mungkin itu yang saya rasakan saat sudah tak terhitung lagi keluhan yang keluar lewat bahasa verbal, tulisan, atau yang hanya tersimpan dalam hati.
Bagaimana dengan finansial? Yang pasti sejak tak lagi dibiayai negara, dan terlalu segan meminta kepada orang tua (atau mungkin gengsi karena tak mau level independensiku diragukan), maka pengeluaran dibuat seefisien mungkin. Karena ongkos transportasi saja sudah benar-benar menguras dompetku. Memasuki 2019 dengan mencoba pekerjaan baru. I mean, a real job. Pekerjaan yang bukan untuk mencari uang jajan tambahan tapi memang untuk bertahan hidup. Dan ternyata semesta memang tak pernah sebercanda ini. Mengumpulkan pundi-pundi rupiah semoga tak membuatku menjadi budak dunia, meski memang tak bisa dipungkiri, hidup butuh uang, dan masa depan cemerlang butuh modal.
Melihat teman-teman sekitar telah mendapatkan pekerjaan impian mereka sedikit banyak menggelitik hatiku. Ada yang salah dengan saya. Bagaimana bisa mereka begitu menikmati pekerjaan mereka sementara saya harus mengaktifkan mode autopilot agar tubuh saya bisa tetap bergerak? Lagi dan lagi saya harus mengingatkan diri sendiri tentang arti syukur. Memilih berada di jalan ini, bukan berarti tak meyakini bahwa ada kesempatan membentang di depan sana. Hidup yang sudah rumit ini, mau tak mau harus dibuat sederhana. Dimulai dengan mengatur pola pikir yang baik dan benar, sekejam apapun realita menghantammu, setidak realistis bagaimanapun setiap rencanamu. Jalani saja, dibuat sederhana saja.
Oh ya hampir lupa, pekerjaan saya sedikit banyak membuat saya belajar untuk menikmati interaksi dengan manusia-manusia lain, terutama anak-anak. Belajar memahami setiap dari mereka sebagai individu yang sedang membentuk diri. Seperti ingin menasihati mereka untuk tidak mendewasa secara terburu-buru, pelan-pelan saja. Saat mereka begitu antusias membicarakan masa depan, ingin sekali kubilang semoga kalian menjalani hari-hari yang indah tanpa rasa kesepian di masa depan nanti ya. Saat mereka begitu semangat membicarakan cita-cita, seperti ingin menyiapkan pundak saat mereka akhirnya menyadari tidak semua cita akan bertemu kenyataan. Ah tapi saya sadar, mereka bukan saya. Dunia dan jalan mereka bisa jadi jauh berbeda dengan apa yang saya hadapi. Mungkin mereka hanya butuh diingatkan, bahwa perjalanan ini bukan hanya tentang memilih sekolah atau universitas unggulan, tapi juga tentang bagaimana melatih mental untuk terus bertumbuh, karena menjalani masa depan butuh kepribadian yang kuat dan persiapan yang matang. (Banyak musuh yang akan kalian taklukkan nanti dan sangat mungkin itu berasal dari diri kalian sendiri!)
Huft. Saya merasa saya harus menghentikan tulisan ini di sini. Banyak hal yang ingin saya tumpahkan sebenarnya. 3 bulan benar-benar memberikan lebih dari apa yang bisa diberikan oleh satu tahun. Semoga nanti bisa memberikan cerita yang lebih berfaedah :))
Untuk menutup tulisan yang tidak karuan ini, saya ingin banyak banyak memohon ampun atas hati yang kurang bersyukur, kepada Dia yang tak pernah berhenti memberi rizki. Dan tetap memohon yang terbaik, karena Dia adalah Satu-satunya yang mutlak memegang takdir saya.
Alhamdulillah atas semua yang sudah dilewati. Semoga tetap kuat melewati setiap turbulensi di 2019. Halo 2019! Terima kasih untuk awal yang sangat menggemaskan ini.
-RS:))
2018 berakhir. Dengan emosi nano-nano. Saya lulus, saya wisuda, saya di*****, saya pulang kampung.
Lalu 2019 datang, saya harus menghadapi kenyataan bahwa segalanya tidak bisa sama seperti semula. Lingkungan baru memaksa saya untuk melenturkan hati dan jiwa agar bisa menyesuaikan dengan keadaan dan kembali belajar beradaptasi dengan sedikit melankolis pada awalnya.
Terbiasa menjadi bungsu membuat sikap (sok) manja saya kadang keluar begitu saja (padahal tahun ini saya akan memasuki usia dua enam. Astaga). Apalagi saat saya merasa nyaman dan merasa bergantung pada orang lain. Tentu saja ini merepotkan, termasuk untuk seorang manusia biasa yang saya bebankan dengan ekspektasi dan tuntutan berlebihan. Padahal disaat bersamaan ada banyak urusan lain yang juga menuntut perhatiannya. Lalu saya merutuki hati saya yang terlalu mudah terbawa perasaan dan selalu mencari pembenaran (bahkan dengan menyalahkan hormon menjelang tamu bulanan, dasar!). Akhirnya saya membiarkan badan saya bekerja secara autopilot, mencoba mengabaikan berbagai jenis emosi agar hati saya tetap berada di titik stabilnya. Sambil terus mencoba belajar menikmati setiap momen, dan tentu saja belajar memahami.
Hah, belajar memahami adalah hal yang sangat bosan untuk saya tuliskan, walaupun kenyataannya, saya sampai detik ini belum bisa terealisasi.
Dimulai dari memahami diri sendiri. Lebih banyak bermonolog, mencerna setiap kejadian, dan menarik kesimpulan. Meski tidak jarang berakhir tanpa kesimpulan, dan membiarkannya menggantung. Lalu saya memaksa orang lain untuk memahami. Haha lucu sekali. Saya saja yang sudah hampir 26 tahun menemani diri saya bertumbuh, melihat kepribadiannya berkembang, menemaninya melewati setiap dinamika, masih saja susah memahami, bagaimana mungkin orang lain bisa lebih paham?
Belum lagi sifat plin plan yang sering membuat saya galau berkepanjangan hanya untuk memutuskan satu hal. Terlalu banyak pertimbangan sampai kadang saya lupa bahwa hal terpenting yang harus saya pertimbangkan adalah diri saya sendiri! Setiap inci tapak kehidupan yang saya lewati adalah murni keputusan saya sendiri, yang artinya tanggung jawab sepenuhnya ada di pundak saya. Meski begitu, saya juga masih bergantung pada pertimbangan orang-orang terdekat karena ternyata saya belum sebisa itu untuk menjadi independen.
2019. Merasa semakin kesepian. Aneh memang untuk orang yang memang lebih butuh banyak ruang sendiri seperti saya. Seharusnya saya memang lebih menyukai sepi, bukan? Tapi bukankah semakin dewasa dunia akan semakin sepi? Lingkaran juga semakin kecil dan semakin selektif. Meski begitu saya paham, sangat amat paham, bahwa pertemuan dan perpisahan adalah keniscayaan dalam hidup yang dinamikanya hampir tak bisa ditebak ini. Ah atau mungkin saya saja yang susah bersapa dengan manusia. Lagipula, mereka yang tak terjangkau raga bukan berarti tak ada kan? (ah jadi kangen kalian, teman-teman, saya kesepian di sini)
Belum lagi perasaan ketertinggalan yang memaksa saya untuk berakselerasi mengejar hal yang membuat saya berada jauh di belakang. Berusaha sebisa saya menyesuaikan diri karena ternyata menjalani level ini tanpa persiapan benar-benar membuat saya kalang kabut. Otak mengalami degradasi fungsi dan level kepercayaan diri semakin merosot ke titik ternadirnya. Ternyata jeda panjang bisa berefek seburuk itu.
Anyways, Pernah dengar frasa 'hidup seperti roda kadang di atas kadang di bawah?' Sebuah frasa yang amat klise tapi telah menampar saya berkali-kali. Saya pernah diangkat sangat tinggi, pun dihempas sedemikian dalam. Tapi kali ini saya mencoba mengambil sudut pandang berbeda karena ternyata kita selalu punya pilihan, memandang ke bawah akan membuat kita merasa di atas, dan memandang ke atas akan membuat kita merasa di bawah. Mungkin itu yang saya rasakan saat sudah tak terhitung lagi keluhan yang keluar lewat bahasa verbal, tulisan, atau yang hanya tersimpan dalam hati.
Bagaimana dengan finansial? Yang pasti sejak tak lagi dibiayai negara, dan terlalu segan meminta kepada orang tua (atau mungkin gengsi karena tak mau level independensiku diragukan), maka pengeluaran dibuat seefisien mungkin. Karena ongkos transportasi saja sudah benar-benar menguras dompetku. Memasuki 2019 dengan mencoba pekerjaan baru. I mean, a real job. Pekerjaan yang bukan untuk mencari uang jajan tambahan tapi memang untuk bertahan hidup. Dan ternyata semesta memang tak pernah sebercanda ini. Mengumpulkan pundi-pundi rupiah semoga tak membuatku menjadi budak dunia, meski memang tak bisa dipungkiri, hidup butuh uang, dan masa depan cemerlang butuh modal.
Melihat teman-teman sekitar telah mendapatkan pekerjaan impian mereka sedikit banyak menggelitik hatiku. Ada yang salah dengan saya. Bagaimana bisa mereka begitu menikmati pekerjaan mereka sementara saya harus mengaktifkan mode autopilot agar tubuh saya bisa tetap bergerak? Lagi dan lagi saya harus mengingatkan diri sendiri tentang arti syukur. Memilih berada di jalan ini, bukan berarti tak meyakini bahwa ada kesempatan membentang di depan sana. Hidup yang sudah rumit ini, mau tak mau harus dibuat sederhana. Dimulai dengan mengatur pola pikir yang baik dan benar, sekejam apapun realita menghantammu, setidak realistis bagaimanapun setiap rencanamu. Jalani saja, dibuat sederhana saja.
Oh ya hampir lupa, pekerjaan saya sedikit banyak membuat saya belajar untuk menikmati interaksi dengan manusia-manusia lain, terutama anak-anak. Belajar memahami setiap dari mereka sebagai individu yang sedang membentuk diri. Seperti ingin menasihati mereka untuk tidak mendewasa secara terburu-buru, pelan-pelan saja. Saat mereka begitu antusias membicarakan masa depan, ingin sekali kubilang semoga kalian menjalani hari-hari yang indah tanpa rasa kesepian di masa depan nanti ya. Saat mereka begitu semangat membicarakan cita-cita, seperti ingin menyiapkan pundak saat mereka akhirnya menyadari tidak semua cita akan bertemu kenyataan. Ah tapi saya sadar, mereka bukan saya. Dunia dan jalan mereka bisa jadi jauh berbeda dengan apa yang saya hadapi. Mungkin mereka hanya butuh diingatkan, bahwa perjalanan ini bukan hanya tentang memilih sekolah atau universitas unggulan, tapi juga tentang bagaimana melatih mental untuk terus bertumbuh, karena menjalani masa depan butuh kepribadian yang kuat dan persiapan yang matang. (Banyak musuh yang akan kalian taklukkan nanti dan sangat mungkin itu berasal dari diri kalian sendiri!)
Huft. Saya merasa saya harus menghentikan tulisan ini di sini. Banyak hal yang ingin saya tumpahkan sebenarnya. 3 bulan benar-benar memberikan lebih dari apa yang bisa diberikan oleh satu tahun. Semoga nanti bisa memberikan cerita yang lebih berfaedah :))
Untuk menutup tulisan yang tidak karuan ini, saya ingin banyak banyak memohon ampun atas hati yang kurang bersyukur, kepada Dia yang tak pernah berhenti memberi rizki. Dan tetap memohon yang terbaik, karena Dia adalah Satu-satunya yang mutlak memegang takdir saya.
Alhamdulillah atas semua yang sudah dilewati. Semoga tetap kuat melewati setiap turbulensi di 2019. Halo 2019! Terima kasih untuk awal yang sangat menggemaskan ini.
-RS:))
Komentar