Bismillah..
Lama tak menyapa, saya sejujurnya kangen sekali menulis. Meminjam istilah yang dipopulerkan masgun, seorang tumblogger yang saya ikuti, saya ingin menulis sedikit hal yang masih relateable dengan kehidupan yang saya jalani sekarang. Tulisan ini adalah sedikit tentang kontemplasi selama saya menapaki episode-episode awal pernikahan. Sebuah refleksi tentang apa saja yang saya pelajari dan skill apa saja yang ingin terus saya latih dalam menjalankan rumah tangga yang insyaAllah seumur hidup ini.
Pertama, manajemen waktu dan tenaga. Mencintai adalah kata kerja yang dalam implementasinya ternyata membutuhkan banyak sekali sumber daya. Baik itu waktu, tenaga, dan pikiran, materi, dll. Manajemen waktu yang baik akan membuatmu tetap bisa menjalankan semua kewajibanmu untuk masyarakat, pekerjaan, dan keluarga. Seringkali keluarga mendapatkan porsi terakhir dari waktu dan tenaga kita, padahal mengupayakan keluarga juga penting sebagaimana kita mengupayakan pekerjaan, karir, dan cita-cita.
Berat memang, tapi bisa diusahakan. Saya sendiri sejak sebelum menikah sudah menyadari, bahwa setelah menikah, waktu me-time mungkin akan berkurang, mungkin akan lebih capek karena saya juga memilih untuk bekerja.
Saya juga memilih resign dari salah satu pekerjaan saya. Karena bagi saya, menyiapkan sarapan untuk suami sama pentingnya dengan menyiapkan bahan ajar untuk siswa, belajar membuat makanan enak, membuat rumah selalu dalam keadaan bersih, sama pentingnya dengan belajar untuk memperdalam kompetensi sebagai seorang pengajar. Dan mungkin kelak saat saya diamanahi anak oleh Allah, maka memberikan waktu dan tenaga untuknya akan jauh lebih penting dari sekedar aktualisasi diri di luar atau mengejar pundi-pundi rupiah.
Kedua, saling bersabar, membantu dan mendukung. Menjadi seorang istri juga berarti menjadi pendukung nomor satu untuk suami. Pun sebaliknya. Ini juga merupakan bentuk penerapan ukhuwah dalam skala terkecil. Bukan hanya dalam lingkup sosial yang luas, penerapan ukhuwah juga harus bisa diterapkan dalam keluarga. Dan seperti kita tahu, tingkatan terendah dalam ukhuwah adalah berlapang dada terhadap saudara. Salah satunya adalah dengan bersabar terhadap kekurangan-kekurangan pasangan. Yang selalu saya tanamkan dalam hati adalah bahwa saya punya banyak kekurangan, dan suami saya juga sedang bersabar akan itu, untuk itu saya juga harus jauh lebih sabar.
Saling mendukung juga berarti saling membantu dalam memaksimalkan peran masing-masing. Dalam hal ini, peran istri sebagai makmum dan ibu rumah tangga, dan peran suami sebagai imam dan pencari nafkah.
Dulu saya merasa bahwa saya adalah seorang perempuan independen, dan bagi saya kewajiban memasak, membereskan rumah, mencuci, dan pekerjaan-pekerjaan domestik lainnya bukanlah kewajiban istri melainkan suami sebagai seseorang yang bertanggung jawab memberikan nafkah sandang, pangan, dan papan. Pun dalam fiqih 4 madzhab juga menjelaskan demikian. Bagi saya, yang bertanggung jawab agar tidak ada anggota keluarga yang lapar adalah suami.
Tetapi sebagai seorang perempuan, setelah menikah kadar ingin 'mempersembahkan yang terbaik bagi suami' melesat pesat dalam diri saya. Saya akhirnya belajar masak, dengan suami yang terus mendukung dan bersedia memakan masakan saya. Saya selalu ingin memberikan sentuhan personal terbaik, mulai dari memasak, beres-beres rumah, sampai merawat diri. Saya ingin setiap pagi suami saya bisa sarapan enak, bisa membuatkan bekal makan siang yang nikmat. Saya ingin saat beliau pulang kerja di malam hari, rumah sudah bersih dan rapi, cemilan malam sudah tersedia, dan saya sudah dalam keadaan bersih dan wangi.(Meskipun dalam realita, saya masih kewalahan).
Saya juga terlahir dalam keluarga yang menganggap pekerjaan domestik adalah urusan perempuan. Saya jelas tidak mengamini itu. Tetapi setelah menikah saya paham, kita tidak sama dengan pembantu. Tujuan perempuan mengambil peran di rumah, memberikan hal-hal kecil sesederhana menyiapkan minuman, merapikan baju, atau apapun itu, adalah untuk membahagiakan suami, sebagai bentuk bakti dan tentu saja untuk mencari ridha Allah. Juga untuk menyampaikan bahwa bahasa cintanya adalah pelayanan.
Sementara itu, suami sebagai pintu masuknya rezeki keluarga juga harus didukung, minimal dengan memberikan semangat dan menguatkan dikala lelah. Juga dengan mengetuk pintu-pintu langit dengan doa-doa agar suami dan rezeki yang diikhtiarkannya senantiasa dilingkupi keberkahan.
Selain itu, juga dengan menjaga agar harta suami aman dan tidak dikeluarkan di sembarang tempat, menahan diri dari nafsu belanja diluar kebutuhan, juga mencukupakan diri dan bersyukur dengan pemberian suami agar tidak mendorong suami mencari rezeki di tempat yang tidak semestinya.
Yang keempat adalah manajemen konflik. Setiap orang punya caranya masing-masing. Bagi saya, salah duanya adalah dengan kerendahan hati dan tidak overglorifikasi sebuah masalah. Rumah tangga itu seperti shalat berjamaah, ada imam dan makmum. Kita tahu bahwa dalam sholat, makmum wajib mengikuti imam. meskipun begitu, makmum juga wajib menegur dengan isyarat saat imam melakukan kesalahan. Ada kalanya kasih sayang itu harus berupa kemampuan untuk meluruskan dan kerendahan hati untuk menerima kritik. Dan ini bisa terjadi dua arah. Dibutuhkan kerendahan hati untuk bisa introspeksi diri dan mengakui dalam diri sendiri, bahwa kitalah yang harus berbenah. Bahkan dengan kerendahan hati, kita akan bisa mengalah tanpa harus baper dan overglorifikasi masalah. Untuk apa? Agar kita bisa melihat inti permasalahan dengan jernih, termasuk bagaimana menyelesaikannya dan bagaimana menghindarinya agar tidak terjadi lagi.
Selanjutnya, skill yang ingin saya pelajari adalah give and give. Artinya bagaimana memberi tanpa mengharapkan keuntungan balik. Karena kita semua tahu sangat tidak nyaman menjalani hubungan yang penuh dengan tuntutan. Dulunya saya berpikir bahwa frasa 'tidak boleh menuntut lebih dari apa yang bisa diberikan suami' hanya berlaku untuk materi. Ternyata saya akhirnya menyadari ini juga berlaku untuk waktu dan perhatian. Meskipun ini adalah hal mendasar yang dibutuhkan dalam rumah tangga, tapi tidak perlu menuntut, karena sebenarnya pasangan kita juga sudah memberikan usaha terbaiknya dalam memberikan quality time dan perhatian. Kadang kita yang perlu mengerti.
Membangun keluarga itu harus dimulai dengan perasaan tulus, tulus memberi hanya dengan mengharapkan kebahagiaan orang yang kita cintai. Ini bukan berarti mengorbankan kebahagiaan sendiri, justru ini juga untuk kebahagiaan sendiri. Menuntut yang dibolehkan hanyalah menuntut untuk bersama-sama berjalan ke arah yang lebih baik, dan tetap mempertahankan keinginan-keinginan baik untuk satu sama lain.
Yang terakhir, adalah skill untuk terus mengembangkan kepribadian. Ini sejalan dengan tulisan Anis Matta bahwa mencintai adalah pekerjaan yang membutuhkan kemampuan kepribadian. Mencintai dengan baik hanya bisa dilakukan oleh mereka yang mempunyai kepribadian yang baik dan kuat. Karena cinta adalah kombinasi antara gagasan, emosi, dan tindakan. Gagasannya adalah tentang bagaimana membuat orang yang kita cintai tumbuh dan berkembang menjadi baik, dan berbahagia karenanya. Ia juga emosi yang penuh kehangatan dan gelora karena seluruh isinya adalah semata-mata keinginan baik. Tapi ia harus mengejawantah dalam tindakan nyata. Sebab gagasan dan emosi tidak mengubah apapun dalam kehidupan kita kecuali setelah ia menjelma jadi aksi.
Artinya mencintai adalah bagaimana melakukan hal-hal untuk membahagiakan orang yang kita cintai secara konstan.
Mungkin masih sangat banyak hal yang harus saya pelajari. Karena pasangan itu seperti buku yang yang siap 'dibaca' dan 'dimengerti'. Merawat pernikahan adalah tugas bersama yang sebenarnya sangat-sangat menyenangkan untuk dijalani. Apalagi saat pribadi masing-masing sudah selesai dengan hal-hal mendasar, sehingga bisa berjalan beriringan, bertumbuh bersama, menjadi sepasang kekuatan yang saling menopang dan saling menguatkan.
Sekian.
Salam hangat dari yang sedang menikmati masa adaptasi dan berjuang :))
Lama tak menyapa, saya sejujurnya kangen sekali menulis. Meminjam istilah yang dipopulerkan masgun, seorang tumblogger yang saya ikuti, saya ingin menulis sedikit hal yang masih relateable dengan kehidupan yang saya jalani sekarang. Tulisan ini adalah sedikit tentang kontemplasi selama saya menapaki episode-episode awal pernikahan. Sebuah refleksi tentang apa saja yang saya pelajari dan skill apa saja yang ingin terus saya latih dalam menjalankan rumah tangga yang insyaAllah seumur hidup ini.
Pertama, manajemen waktu dan tenaga. Mencintai adalah kata kerja yang dalam implementasinya ternyata membutuhkan banyak sekali sumber daya. Baik itu waktu, tenaga, dan pikiran, materi, dll. Manajemen waktu yang baik akan membuatmu tetap bisa menjalankan semua kewajibanmu untuk masyarakat, pekerjaan, dan keluarga. Seringkali keluarga mendapatkan porsi terakhir dari waktu dan tenaga kita, padahal mengupayakan keluarga juga penting sebagaimana kita mengupayakan pekerjaan, karir, dan cita-cita.
Berat memang, tapi bisa diusahakan. Saya sendiri sejak sebelum menikah sudah menyadari, bahwa setelah menikah, waktu me-time mungkin akan berkurang, mungkin akan lebih capek karena saya juga memilih untuk bekerja.
Saya juga memilih resign dari salah satu pekerjaan saya. Karena bagi saya, menyiapkan sarapan untuk suami sama pentingnya dengan menyiapkan bahan ajar untuk siswa, belajar membuat makanan enak, membuat rumah selalu dalam keadaan bersih, sama pentingnya dengan belajar untuk memperdalam kompetensi sebagai seorang pengajar. Dan mungkin kelak saat saya diamanahi anak oleh Allah, maka memberikan waktu dan tenaga untuknya akan jauh lebih penting dari sekedar aktualisasi diri di luar atau mengejar pundi-pundi rupiah.
Kedua, saling bersabar, membantu dan mendukung. Menjadi seorang istri juga berarti menjadi pendukung nomor satu untuk suami. Pun sebaliknya. Ini juga merupakan bentuk penerapan ukhuwah dalam skala terkecil. Bukan hanya dalam lingkup sosial yang luas, penerapan ukhuwah juga harus bisa diterapkan dalam keluarga. Dan seperti kita tahu, tingkatan terendah dalam ukhuwah adalah berlapang dada terhadap saudara. Salah satunya adalah dengan bersabar terhadap kekurangan-kekurangan pasangan. Yang selalu saya tanamkan dalam hati adalah bahwa saya punya banyak kekurangan, dan suami saya juga sedang bersabar akan itu, untuk itu saya juga harus jauh lebih sabar.
Saling mendukung juga berarti saling membantu dalam memaksimalkan peran masing-masing. Dalam hal ini, peran istri sebagai makmum dan ibu rumah tangga, dan peran suami sebagai imam dan pencari nafkah.
Dulu saya merasa bahwa saya adalah seorang perempuan independen, dan bagi saya kewajiban memasak, membereskan rumah, mencuci, dan pekerjaan-pekerjaan domestik lainnya bukanlah kewajiban istri melainkan suami sebagai seseorang yang bertanggung jawab memberikan nafkah sandang, pangan, dan papan. Pun dalam fiqih 4 madzhab juga menjelaskan demikian. Bagi saya, yang bertanggung jawab agar tidak ada anggota keluarga yang lapar adalah suami.
Tetapi sebagai seorang perempuan, setelah menikah kadar ingin 'mempersembahkan yang terbaik bagi suami' melesat pesat dalam diri saya. Saya akhirnya belajar masak, dengan suami yang terus mendukung dan bersedia memakan masakan saya. Saya selalu ingin memberikan sentuhan personal terbaik, mulai dari memasak, beres-beres rumah, sampai merawat diri. Saya ingin setiap pagi suami saya bisa sarapan enak, bisa membuatkan bekal makan siang yang nikmat. Saya ingin saat beliau pulang kerja di malam hari, rumah sudah bersih dan rapi, cemilan malam sudah tersedia, dan saya sudah dalam keadaan bersih dan wangi.(Meskipun dalam realita, saya masih kewalahan).
Saya juga terlahir dalam keluarga yang menganggap pekerjaan domestik adalah urusan perempuan. Saya jelas tidak mengamini itu. Tetapi setelah menikah saya paham, kita tidak sama dengan pembantu. Tujuan perempuan mengambil peran di rumah, memberikan hal-hal kecil sesederhana menyiapkan minuman, merapikan baju, atau apapun itu, adalah untuk membahagiakan suami, sebagai bentuk bakti dan tentu saja untuk mencari ridha Allah. Juga untuk menyampaikan bahwa bahasa cintanya adalah pelayanan.
Sementara itu, suami sebagai pintu masuknya rezeki keluarga juga harus didukung, minimal dengan memberikan semangat dan menguatkan dikala lelah. Juga dengan mengetuk pintu-pintu langit dengan doa-doa agar suami dan rezeki yang diikhtiarkannya senantiasa dilingkupi keberkahan.
Selain itu, juga dengan menjaga agar harta suami aman dan tidak dikeluarkan di sembarang tempat, menahan diri dari nafsu belanja diluar kebutuhan, juga mencukupakan diri dan bersyukur dengan pemberian suami agar tidak mendorong suami mencari rezeki di tempat yang tidak semestinya.
Yang keempat adalah manajemen konflik. Setiap orang punya caranya masing-masing. Bagi saya, salah duanya adalah dengan kerendahan hati dan tidak overglorifikasi sebuah masalah. Rumah tangga itu seperti shalat berjamaah, ada imam dan makmum. Kita tahu bahwa dalam sholat, makmum wajib mengikuti imam. meskipun begitu, makmum juga wajib menegur dengan isyarat saat imam melakukan kesalahan. Ada kalanya kasih sayang itu harus berupa kemampuan untuk meluruskan dan kerendahan hati untuk menerima kritik. Dan ini bisa terjadi dua arah. Dibutuhkan kerendahan hati untuk bisa introspeksi diri dan mengakui dalam diri sendiri, bahwa kitalah yang harus berbenah. Bahkan dengan kerendahan hati, kita akan bisa mengalah tanpa harus baper dan overglorifikasi masalah. Untuk apa? Agar kita bisa melihat inti permasalahan dengan jernih, termasuk bagaimana menyelesaikannya dan bagaimana menghindarinya agar tidak terjadi lagi.
Selanjutnya, skill yang ingin saya pelajari adalah give and give. Artinya bagaimana memberi tanpa mengharapkan keuntungan balik. Karena kita semua tahu sangat tidak nyaman menjalani hubungan yang penuh dengan tuntutan. Dulunya saya berpikir bahwa frasa 'tidak boleh menuntut lebih dari apa yang bisa diberikan suami' hanya berlaku untuk materi. Ternyata saya akhirnya menyadari ini juga berlaku untuk waktu dan perhatian. Meskipun ini adalah hal mendasar yang dibutuhkan dalam rumah tangga, tapi tidak perlu menuntut, karena sebenarnya pasangan kita juga sudah memberikan usaha terbaiknya dalam memberikan quality time dan perhatian. Kadang kita yang perlu mengerti.
Membangun keluarga itu harus dimulai dengan perasaan tulus, tulus memberi hanya dengan mengharapkan kebahagiaan orang yang kita cintai. Ini bukan berarti mengorbankan kebahagiaan sendiri, justru ini juga untuk kebahagiaan sendiri. Menuntut yang dibolehkan hanyalah menuntut untuk bersama-sama berjalan ke arah yang lebih baik, dan tetap mempertahankan keinginan-keinginan baik untuk satu sama lain.
Yang terakhir, adalah skill untuk terus mengembangkan kepribadian. Ini sejalan dengan tulisan Anis Matta bahwa mencintai adalah pekerjaan yang membutuhkan kemampuan kepribadian. Mencintai dengan baik hanya bisa dilakukan oleh mereka yang mempunyai kepribadian yang baik dan kuat. Karena cinta adalah kombinasi antara gagasan, emosi, dan tindakan. Gagasannya adalah tentang bagaimana membuat orang yang kita cintai tumbuh dan berkembang menjadi baik, dan berbahagia karenanya. Ia juga emosi yang penuh kehangatan dan gelora karena seluruh isinya adalah semata-mata keinginan baik. Tapi ia harus mengejawantah dalam tindakan nyata. Sebab gagasan dan emosi tidak mengubah apapun dalam kehidupan kita kecuali setelah ia menjelma jadi aksi.
Artinya mencintai adalah bagaimana melakukan hal-hal untuk membahagiakan orang yang kita cintai secara konstan.
Mungkin masih sangat banyak hal yang harus saya pelajari. Karena pasangan itu seperti buku yang yang siap 'dibaca' dan 'dimengerti'. Merawat pernikahan adalah tugas bersama yang sebenarnya sangat-sangat menyenangkan untuk dijalani. Apalagi saat pribadi masing-masing sudah selesai dengan hal-hal mendasar, sehingga bisa berjalan beriringan, bertumbuh bersama, menjadi sepasang kekuatan yang saling menopang dan saling menguatkan.
Sekian.
Salam hangat dari yang sedang menikmati masa adaptasi dan berjuang :))
Komentar
Sesungguhnya aku malu baca begini-beginian, apalagi setelah bertemu kalian beberapa hari yang lalu. Rasanya nggak mau lagi ketemu kalian, malu melihat kalian wkwkwk