Langsung ke konten utama

Episode 2: Kemelekatan

Dulu sebelum menikah, saya melihat perilaku terlalu bergantung dengan pasangan, selalu meminta perhatian dan membatasi gerak pasangan, atau perempuan yang selalu ingin dekat dengan pasangan adalah perilaku norak.

Bagi saya, perempuan adalah manusia independen, hamba Allah yang memiliki kelebihannya sendiri, yang juga dibekali akal dan hati untuk mengontrol perasaan dan logikanya. Dan yang pasti, perempuan adalah makhluk yang utuh dengan atau tanpa perhatian dari pasangannya.

Namun kenyataannya, setelah menikah indepedensi saya sebagai perempuan diuji. Saya malah menjadi norak. Saya suka mencari perhatian dan saya merasa sangat melekat dengan suami. Saya merasa suami adalah milik saya sepenuhnya, yang tingkah lakunya harus saya kontrol selalu, yang keberadaannya harus selalu dalam radar saya, yang eksistensi dan ruang geraknya seperti ingin saya kunci dalam genggaman saya. Yang perhatiannya harus selalu tercurah untuk saya. Senorak itu seorang istri pemula ini.

Rasa kepemilikan yang berlebihan dan tidak pada kadarnya ini mungkin saja membuat suami jengah karena ruang geraknya yang terbatasi. Meskipun ia sudah sangat berusaha melimpahkan kasih sayangnya, tapi mungkin ia sesekali ingin tenggelam dalam dunianya tanpa distraksi receh dari istrinya yang suka sekali mencari perhatian. Mungkin ia sesekali ingin tidur lelap tanpa interupsi tak berfaedah.  Mungkin ia ingin sesekali lepas dari pelukan untuk menyelami ruang hobinya. Dan yang pasti, ia tidak ingin dibuat bingung dengan pilihan: kerjaan atau istri? Oh.. Dan juga, mungkin ia bosan dengan segala insecurity istrinya yang melahirkan cemburu-cemburu tak beralasan.

Lalu saya mengingat kembali teori yang sudah kenyang saya lahap sejak sebelum menikah. Bahwa dulu saya melatih diri untuk mandiri sebelum menikah, agar kehadiran saya dalam hidupnya bukan untuk menyulitkan, tapi menguatkan. Agar keberadaan saya di sampingnya bukan untuk mengekang, tapi menghebatkan. Dia bebas memiliki waktunya sendiri untuk sekedar menepi. Dan dia berhak atas kepercayaan sepenuhnya untuk setiap aktifitas yang tak tertangkap radar istrinya.

Dan kembali mengingat bagaimana dulu saya bisa melakukan apapun sendiri. Bagaimana saya dulu sangat tidak ingin menggantungkan diri maupun perasaan kepada siapapun. Agar saya terbebas dari perasaan perasaan berharap. Agar saya terbebas dari kemungkinan dikecewakan oleh ekspektasi.

Saya berusaha melonggarkan kemelekatan diri pada suami. Meskipun begitu, bukan berarti saya tidak lagi bergantung padanya. Bukan berarti saya tidak lagi membutuhkan perhatiannya. Bukan berarti saya menahan diri dari memeluknya kapanpun saya mau. Karena rasa saling terikat juga dibutuhkan untuk saling berkasih sayang.

Bukan berarti juga saya menghapus setiap rasa cemburu yang mungkin datang. Dan bukan berarti saya berhenti rewel padanya. Kerewelan juga diperlukan untuk saling menjaga, dan merupakan tugas masing-masing untuk menjadi alarm bagi satu sama lain jika memang ada hal kurang patut yang dilakukan pasangan.

Hanya saja saya berusaha menjaganya sesuai kadar, dan mengekspresikannya di waktu dan tempat yang tepat. Dan berusaha menyelaraskan lagi perasaan dan logika. Agar diri tak terlalu menye-menye, pun tak terlalu independen.

Saya juga mengingat kembali perjuangannya untuk mengucap lafadz akad di depan wali saya, dan itu sudah cukup untuk memberinya kepercayaan bahwa ia akan menjaga seumur hidup komitmen ini. Setiap kekhawatiran dan perasaan insecure biarlah terkunci dalam doa-doa.

Akhirnya, saya berkesimpulan bahwa setiap pasangan juga butuh ruang untuk berjarak. Termasuk juga untuk istri. Momen berjarak bisa digunakan untuk merapikan kembali perasaan dan menyandingkannya dengan logika yang kokoh. Juga untuk semakin menyadarkan bahwa, tempat paling ideal untuk bergantung hanya Allah Rabb semesta alam, yang dalam genggamanNya hati kita berada.

Sekian.

Salam hangat dari yang masih berusaha menyeimbangkan

:))

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Glimpse of Memorable Memories

I am writing this with Kiss the Rain and Stay in Memory by Yiruma playing in Youtube. It seriously making me baper . I am trying to remember every single thing we've been through together in the past 3 months. But this is not gonna be a long post that show every details. It's just the voice of  my heart (I don't know how to say curahan hati in English). Sorry if there are some things missed. Our story started at 29th of November 2015. In the day before the opening of our course program, we decided to meet in the gate of ITB for looking for a language center building. There were only 8 of us. Some of us maybe already knew each other because we came from the same region. But mostly, that was our first meet. Oh yes, I already met Cintya the beautiful moon accidentally in Juanda airport before. The next day, we finally met each other. All of us. I remember we sat in the front, introduced our name and the place where we came from. I also remember the Jembernese came togethe...

Perempuan, jodoh dan S2.

Kemarin saya dan Mama saya ngobrol santai di meja makan. Tiba-tiba bahasannya menyerempet ke arah jodoh. Sebenarnya saya selalu menghindari topik macam begini dengan keluarga saya. " Kamu kalau udah umur 25 belum nikah, udah susah cari jodoh nanti. S2 lagi" Tante saya juga pernah bilang : "Kamu nggak mau sama si X? Dia S2 juga loh" Wkwk xD Ada yang perlu saya luruskan disini: Saya tidak pernah menganggap kuliah sebagai sarana mencari ijazah lalu pamer gelar dan lantas pilih-pilih teman apalagi jodoh. Allah tidak menilai orang dari ijazah, lantas saya siapa mau pilih suami dari strata pendidikan? Wkwk. Alasan saya melanjutkan studi S2 bukan biar uang panai jadi tinggi macam yang di meme itu xD. Bahkan kalau misalnya saya juga menganggap diri saya sebuah barang yang bisa dilabeli dengan harga, saya juga tidak akan melabeli diri saya dengan harga tinggi. Kenapa? Saya yang tau  diri saya dengan semua kekurangannya. Dari segi akademik saya bukan mahasiswa yan...

Pada Deretan Huruf

Pada deretan huruf, aku tuliskan cerita. Tentang kita yang menyapa pagi, meramu siang, dan menghimpun malam. Kita yang sebelumnya tak saling kenal, dunia kita tak bersentuhan, lingkaran kita tak beririsan, lantas dipertemukan dalam suatu epidode yang mengakrabkan kita dengan cara istimewa. Pada deretan huruf, aku abadikan kisah. Tentang kau dan aku yang beda, yang tak serupa, tapi berjalan beriringan. Setiap kata merapalkan kejujuran, bahwa setiap beda tak mesti bertentang. Hal yang kadang membuat kita berdebat, nyatanya tetap bisa membuat kita tertawa bersama. Pada deretan huruf, aku rekam setiap momen. Tentang kau yang memahamkanku bahwa dunia bukanlah ruang sempit. Ia tak melulu tentang barat dan timur, atau utara dan selatan. Kau pula yang memahamkanku bahwa kita adalah bagian dari milyaran manusia, yang tertakdir bertemu disini. Pada deretan huruf, aku bekukan kenangan. Tentang kita yang selalu berceloteh bahwa hari seperti dilipat, dan harapan agar ia bisa sedikit melambat....