Dulu sebelum menikah, saya melihat perilaku terlalu bergantung dengan pasangan, selalu meminta perhatian dan membatasi gerak pasangan, atau perempuan yang selalu ingin dekat dengan pasangan adalah perilaku norak.
Bagi saya, perempuan adalah manusia independen, hamba Allah yang memiliki kelebihannya sendiri, yang juga dibekali akal dan hati untuk mengontrol perasaan dan logikanya. Dan yang pasti, perempuan adalah makhluk yang utuh dengan atau tanpa perhatian dari pasangannya.
Namun kenyataannya, setelah menikah indepedensi saya sebagai perempuan diuji. Saya malah menjadi norak. Saya suka mencari perhatian dan saya merasa sangat melekat dengan suami. Saya merasa suami adalah milik saya sepenuhnya, yang tingkah lakunya harus saya kontrol selalu, yang keberadaannya harus selalu dalam radar saya, yang eksistensi dan ruang geraknya seperti ingin saya kunci dalam genggaman saya. Yang perhatiannya harus selalu tercurah untuk saya. Senorak itu seorang istri pemula ini.
Rasa kepemilikan yang berlebihan dan tidak pada kadarnya ini mungkin saja membuat suami jengah karena ruang geraknya yang terbatasi. Meskipun ia sudah sangat berusaha melimpahkan kasih sayangnya, tapi mungkin ia sesekali ingin tenggelam dalam dunianya tanpa distraksi receh dari istrinya yang suka sekali mencari perhatian. Mungkin ia sesekali ingin tidur lelap tanpa interupsi tak berfaedah. Mungkin ia ingin sesekali lepas dari pelukan untuk menyelami ruang hobinya. Dan yang pasti, ia tidak ingin dibuat bingung dengan pilihan: kerjaan atau istri? Oh.. Dan juga, mungkin ia bosan dengan segala insecurity istrinya yang melahirkan cemburu-cemburu tak beralasan.
Lalu saya mengingat kembali teori yang sudah kenyang saya lahap sejak sebelum menikah. Bahwa dulu saya melatih diri untuk mandiri sebelum menikah, agar kehadiran saya dalam hidupnya bukan untuk menyulitkan, tapi menguatkan. Agar keberadaan saya di sampingnya bukan untuk mengekang, tapi menghebatkan. Dia bebas memiliki waktunya sendiri untuk sekedar menepi. Dan dia berhak atas kepercayaan sepenuhnya untuk setiap aktifitas yang tak tertangkap radar istrinya.
Dan kembali mengingat bagaimana dulu saya bisa melakukan apapun sendiri. Bagaimana saya dulu sangat tidak ingin menggantungkan diri maupun perasaan kepada siapapun. Agar saya terbebas dari perasaan perasaan berharap. Agar saya terbebas dari kemungkinan dikecewakan oleh ekspektasi.
Saya berusaha melonggarkan kemelekatan diri pada suami. Meskipun begitu, bukan berarti saya tidak lagi bergantung padanya. Bukan berarti saya tidak lagi membutuhkan perhatiannya. Bukan berarti saya menahan diri dari memeluknya kapanpun saya mau. Karena rasa saling terikat juga dibutuhkan untuk saling berkasih sayang.
Bukan berarti juga saya menghapus setiap rasa cemburu yang mungkin datang. Dan bukan berarti saya berhenti rewel padanya. Kerewelan juga diperlukan untuk saling menjaga, dan merupakan tugas masing-masing untuk menjadi alarm bagi satu sama lain jika memang ada hal kurang patut yang dilakukan pasangan.
Hanya saja saya berusaha menjaganya sesuai kadar, dan mengekspresikannya di waktu dan tempat yang tepat. Dan berusaha menyelaraskan lagi perasaan dan logika. Agar diri tak terlalu menye-menye, pun tak terlalu independen.
Saya juga mengingat kembali perjuangannya untuk mengucap lafadz akad di depan wali saya, dan itu sudah cukup untuk memberinya kepercayaan bahwa ia akan menjaga seumur hidup komitmen ini. Setiap kekhawatiran dan perasaan insecure biarlah terkunci dalam doa-doa.
Akhirnya, saya berkesimpulan bahwa setiap pasangan juga butuh ruang untuk berjarak. Termasuk juga untuk istri. Momen berjarak bisa digunakan untuk merapikan kembali perasaan dan menyandingkannya dengan logika yang kokoh. Juga untuk semakin menyadarkan bahwa, tempat paling ideal untuk bergantung hanya Allah Rabb semesta alam, yang dalam genggamanNya hati kita berada.
Sekian.
Salam hangat dari yang masih berusaha menyeimbangkan
:))
Bagi saya, perempuan adalah manusia independen, hamba Allah yang memiliki kelebihannya sendiri, yang juga dibekali akal dan hati untuk mengontrol perasaan dan logikanya. Dan yang pasti, perempuan adalah makhluk yang utuh dengan atau tanpa perhatian dari pasangannya.
Namun kenyataannya, setelah menikah indepedensi saya sebagai perempuan diuji. Saya malah menjadi norak. Saya suka mencari perhatian dan saya merasa sangat melekat dengan suami. Saya merasa suami adalah milik saya sepenuhnya, yang tingkah lakunya harus saya kontrol selalu, yang keberadaannya harus selalu dalam radar saya, yang eksistensi dan ruang geraknya seperti ingin saya kunci dalam genggaman saya. Yang perhatiannya harus selalu tercurah untuk saya. Senorak itu seorang istri pemula ini.
Rasa kepemilikan yang berlebihan dan tidak pada kadarnya ini mungkin saja membuat suami jengah karena ruang geraknya yang terbatasi. Meskipun ia sudah sangat berusaha melimpahkan kasih sayangnya, tapi mungkin ia sesekali ingin tenggelam dalam dunianya tanpa distraksi receh dari istrinya yang suka sekali mencari perhatian. Mungkin ia sesekali ingin tidur lelap tanpa interupsi tak berfaedah. Mungkin ia ingin sesekali lepas dari pelukan untuk menyelami ruang hobinya. Dan yang pasti, ia tidak ingin dibuat bingung dengan pilihan: kerjaan atau istri? Oh.. Dan juga, mungkin ia bosan dengan segala insecurity istrinya yang melahirkan cemburu-cemburu tak beralasan.
Lalu saya mengingat kembali teori yang sudah kenyang saya lahap sejak sebelum menikah. Bahwa dulu saya melatih diri untuk mandiri sebelum menikah, agar kehadiran saya dalam hidupnya bukan untuk menyulitkan, tapi menguatkan. Agar keberadaan saya di sampingnya bukan untuk mengekang, tapi menghebatkan. Dia bebas memiliki waktunya sendiri untuk sekedar menepi. Dan dia berhak atas kepercayaan sepenuhnya untuk setiap aktifitas yang tak tertangkap radar istrinya.
Dan kembali mengingat bagaimana dulu saya bisa melakukan apapun sendiri. Bagaimana saya dulu sangat tidak ingin menggantungkan diri maupun perasaan kepada siapapun. Agar saya terbebas dari perasaan perasaan berharap. Agar saya terbebas dari kemungkinan dikecewakan oleh ekspektasi.
Saya berusaha melonggarkan kemelekatan diri pada suami. Meskipun begitu, bukan berarti saya tidak lagi bergantung padanya. Bukan berarti saya tidak lagi membutuhkan perhatiannya. Bukan berarti saya menahan diri dari memeluknya kapanpun saya mau. Karena rasa saling terikat juga dibutuhkan untuk saling berkasih sayang.
Bukan berarti juga saya menghapus setiap rasa cemburu yang mungkin datang. Dan bukan berarti saya berhenti rewel padanya. Kerewelan juga diperlukan untuk saling menjaga, dan merupakan tugas masing-masing untuk menjadi alarm bagi satu sama lain jika memang ada hal kurang patut yang dilakukan pasangan.
Hanya saja saya berusaha menjaganya sesuai kadar, dan mengekspresikannya di waktu dan tempat yang tepat. Dan berusaha menyelaraskan lagi perasaan dan logika. Agar diri tak terlalu menye-menye, pun tak terlalu independen.
Saya juga mengingat kembali perjuangannya untuk mengucap lafadz akad di depan wali saya, dan itu sudah cukup untuk memberinya kepercayaan bahwa ia akan menjaga seumur hidup komitmen ini. Setiap kekhawatiran dan perasaan insecure biarlah terkunci dalam doa-doa.
Akhirnya, saya berkesimpulan bahwa setiap pasangan juga butuh ruang untuk berjarak. Termasuk juga untuk istri. Momen berjarak bisa digunakan untuk merapikan kembali perasaan dan menyandingkannya dengan logika yang kokoh. Juga untuk semakin menyadarkan bahwa, tempat paling ideal untuk bergantung hanya Allah Rabb semesta alam, yang dalam genggamanNya hati kita berada.
Sekian.
Salam hangat dari yang masih berusaha menyeimbangkan
:))
Komentar