Di usia delapan belasan, saya sempat menggalau karena perasaan. Saya sempat baper karena ekspektasi yang saya bangun sendiri. Dan saya sempat galau karena kecewa oleh ekspektasi tersebut. Tapi hal itu, baru saya sadari, merupakan sebuah titik balik untuk hidup yang saya jalani setelahnya.
Saya mencoba mengalihkan setiap rasa baper ke hal-hal yang lebih esensial. Bukan lagi perkara menye-menye.
Saya mengalihkan perasaan untuk lebih berempati pada sekitar.
Ada banyak kedzaliman yang terjadi di muka bumi. Palestina dan Suriah sedang sangat bergejolak saat itu. Bahkan dalam skala lebih kecil, masih banyak orang-orang sekitar yang belum mengenal Al-quran, yang belum paham makna syahadat, dan masih banyak lagi. Belum lagi ketimpangan sosial yang masih sangat terasa. Tugas kita ternyata masih banyak.
Fokus saya teralihkan. Kesibukan saya berpindah. Sinyal baper untuk hal remeh benar-benar dimatikan. Hati saya sepenuhnya terjaga. Saya kembali menggigit kuat-kuat prinsip dan aturan yang saya terapkan untuk diri. Manusia berharga karena prinsipnya, begitu kata seorang teman.
Saya terus terang mengatakan pada teman yang suka men-cie-kan saya dengan seseorang secara spesifik. Bahwa saya tidak suka, karena saya sadar penuh, hati saya gampang berbelok. Sedikit saja perasaan senang akan membawa saya pada angan-angan.
Perasaan saya tidak mati, hanya sedang ditekan. Jiwa saya bergejolak. Tapi berhasil diredam. Jangan ditanya, saat satu dua orang datang menyampaikan maksud untuk melamar, baik secara langsung maupun melalui perantara, perasaan saya dengan sangat cepat stabil kembali meskipun sedikit melonjak di awal. Saya mengalihkannya dengan berpikir bahwa mimpi-mimpi saya masih panjang. Tidak ada waktu untuk menggantungkan perasaan pada manusia.
Sampai suatu hari saya ditanya, 'kamu terlihat seperti tidak ingin menikah'.
Saya tertawa. Saya ingin menikah tentu saja. Hanya saja, membiarkan rasa baper sebagai pemegang kemudi hati saya jelas tidak akan berdampak baik. Saya mengerem perasaan saya dulu. Cita-cita saya masih panjang, itu yang selalu saya gumamkan dalam hati. Dan menggantungkan perasaan pada seseorang masih terlihat menakutkan bagi saya.
Beberapa berpikir penampilan saya perlu diubah, gadis seusia saya sudah biasa memoles diri dan berpenampilan menarik. Agar lrbih memikat dan ada yang tertarik, katanya. Padahal berpenampilan biasa juga merupakan salah satu filter, bahwa yang meyukaimu hanya karena penampilan akan tersaring dengan sendirinya. Bahwa ruh pernikahan bukan hanya dihidupkan dengan apa-apa yang terlihat manis dan cantik. Jilbab dan gamis saya kelebaran? Jauh sebelum trend hijab mencuat seperti sekarang, saya dan teman-teman sudah bangga menggunakan identitas kami. Jadi jangan coba-coba mengomentari penampilan saya. Ini identitas yang ingin saya tunjukkan.
Lagipula, lingkaran pertemanan saya adalah orang-orang yang langsung menciee dan mengejek saat melihatmu memakai lipstik, atau mencoba jilbab model model. Haha.
Soalan menikah saya lupakan dulu. Saya masih menuntut ilmu.
Saya pindah ke Bogor sebagai salah satu ikhtiar mengejar cita-cita. Di sini saya mengalami kegalauan lagi. Kali ini bukan perkara pasangan hidup. Tapi tentang krisis seperempat abad yang katanya pasti menghantui siapapun.
Lingkungan dan lingkaran pertemanan saya berubah. Saya terjebak pada kondisi dimana saya sangat ingin menyembunyikan diri dan saya ternyata struggling dengan masalah self esteem. Saya sempat keluar dari hingar bingar media sosial. Saya merasa harus berupaya lebih agar bisa diterima, tapi seperti tidak punya cukup energi untuk itu. Dan mungkin yang baru saya sadari, berada di lingkungan yang heterogen dan usaha untuk bisa diterima membuat saya sedikit melonggarkan pergaulan.
Beberapa saat saya berjalan secara autopilot. Mencoba membangun diri lagi dan tetap fokus pada tujuan. Saya ingat dulu hiburan saya adalah tarbiyah pekanan yang untuk menjangkaunya membutuhkan waktu kurang lebih 3 jam untuk perjalanan pulang pergi. Di sinilah saya mengerti, bahwa salah satu tempat terbaik mengisi diri adalah tempat berkumpul bersama orang-orang yang selalu mengingatkanmu tentang jalan kebaikan.
Disitu juga saya paham. Bahwa kegalauan bisa jadi merupakan cara Allah untuk mengingatkan tentang kepada siapa harap mesti digantungkan, dan kepada siapa semua urusan dikembalikan.
Saat saya galau soal perasaan. Allah tunjukkan kelemahan saya, sekaligus jalan bagi saya memperbaikinya. Pun saat saya merasa bukan siapa-siapa, Allah tunjukkan bahwa Dia senantiasa memperhatikan.
Di saat seperti ini, saya yang awalnya sempat melupakan soalan pernikahan. Akhirnya mulai memikirkannya lagi. Allah mengirimkan seorang teman yang bersedia menjadi teman hidup. Yang menawarkan janji ijab qabul. Orang pertama yang membuat saya berani membicarakan tentang lawan jenis kepada orang tua.
Sejujurnya butuh waktu untuk menerimanya. Baru saya sadari bahwa radar emosiku sempat ku nonaktifkan.
Mengaktifkan lagi beberapa emosi yang sempat kutekan dalam diri memberikan konsekuensi yang tidak saya sadari sebelumnya: emosi saya penuh dan membanjir. Terbiasa melakukan apapun sendirian, saya akhirnya merasa bahwa saya butuh perhatian. Dan saya ingin diterima selebih dan sekurangnya saya.
Dan akhirnya saya berada di titik ini. Menunggu hari diucapkannya ijab qabul. Masih jauh sebenarnya. Masih banyak kekhawatiran. Mungkin saya bukan perempuan terbaik yang pernah ditemuinya. Mungkin luapan perasaan dan emosiku akan membanjirinya. Saya tidak tau apa yang membuat dia tertarik. Tapi semoga bukan pada hal-hal fana yang akan memudar nantinya.
Sampai di sini masih terus merenungi. Gejolak perasaan yang sempat naik turun saya rasakan, memberikan pelajaran yang kadang terlambat saya sadari. Memendam segalanya sendiri, membuat saya menyadari bahwa Allah satu-satunya yang mengerti jiwa saya. Dan pasangan hidup saya kelak, semoga diberikan pemahaman olehNya, bahwa saya adalah individu yang sangat-sangat tidak sempurna.
-RS
*sudah lama ditulis tapi baru posting. Supaya tersimpan rapi seandainya nanti memoriku memudar.
Saya mencoba mengalihkan setiap rasa baper ke hal-hal yang lebih esensial. Bukan lagi perkara menye-menye.
Saya mengalihkan perasaan untuk lebih berempati pada sekitar.
Ada banyak kedzaliman yang terjadi di muka bumi. Palestina dan Suriah sedang sangat bergejolak saat itu. Bahkan dalam skala lebih kecil, masih banyak orang-orang sekitar yang belum mengenal Al-quran, yang belum paham makna syahadat, dan masih banyak lagi. Belum lagi ketimpangan sosial yang masih sangat terasa. Tugas kita ternyata masih banyak.
Fokus saya teralihkan. Kesibukan saya berpindah. Sinyal baper untuk hal remeh benar-benar dimatikan. Hati saya sepenuhnya terjaga. Saya kembali menggigit kuat-kuat prinsip dan aturan yang saya terapkan untuk diri. Manusia berharga karena prinsipnya, begitu kata seorang teman.
Saya terus terang mengatakan pada teman yang suka men-cie-kan saya dengan seseorang secara spesifik. Bahwa saya tidak suka, karena saya sadar penuh, hati saya gampang berbelok. Sedikit saja perasaan senang akan membawa saya pada angan-angan.
Perasaan saya tidak mati, hanya sedang ditekan. Jiwa saya bergejolak. Tapi berhasil diredam. Jangan ditanya, saat satu dua orang datang menyampaikan maksud untuk melamar, baik secara langsung maupun melalui perantara, perasaan saya dengan sangat cepat stabil kembali meskipun sedikit melonjak di awal. Saya mengalihkannya dengan berpikir bahwa mimpi-mimpi saya masih panjang. Tidak ada waktu untuk menggantungkan perasaan pada manusia.
Sampai suatu hari saya ditanya, 'kamu terlihat seperti tidak ingin menikah'.
Saya tertawa. Saya ingin menikah tentu saja. Hanya saja, membiarkan rasa baper sebagai pemegang kemudi hati saya jelas tidak akan berdampak baik. Saya mengerem perasaan saya dulu. Cita-cita saya masih panjang, itu yang selalu saya gumamkan dalam hati. Dan menggantungkan perasaan pada seseorang masih terlihat menakutkan bagi saya.
Beberapa berpikir penampilan saya perlu diubah, gadis seusia saya sudah biasa memoles diri dan berpenampilan menarik. Agar lrbih memikat dan ada yang tertarik, katanya. Padahal berpenampilan biasa juga merupakan salah satu filter, bahwa yang meyukaimu hanya karena penampilan akan tersaring dengan sendirinya. Bahwa ruh pernikahan bukan hanya dihidupkan dengan apa-apa yang terlihat manis dan cantik. Jilbab dan gamis saya kelebaran? Jauh sebelum trend hijab mencuat seperti sekarang, saya dan teman-teman sudah bangga menggunakan identitas kami. Jadi jangan coba-coba mengomentari penampilan saya. Ini identitas yang ingin saya tunjukkan.
Lagipula, lingkaran pertemanan saya adalah orang-orang yang langsung menciee dan mengejek saat melihatmu memakai lipstik, atau mencoba jilbab model model. Haha.
Soalan menikah saya lupakan dulu. Saya masih menuntut ilmu.
Saya pindah ke Bogor sebagai salah satu ikhtiar mengejar cita-cita. Di sini saya mengalami kegalauan lagi. Kali ini bukan perkara pasangan hidup. Tapi tentang krisis seperempat abad yang katanya pasti menghantui siapapun.
Lingkungan dan lingkaran pertemanan saya berubah. Saya terjebak pada kondisi dimana saya sangat ingin menyembunyikan diri dan saya ternyata struggling dengan masalah self esteem. Saya sempat keluar dari hingar bingar media sosial. Saya merasa harus berupaya lebih agar bisa diterima, tapi seperti tidak punya cukup energi untuk itu. Dan mungkin yang baru saya sadari, berada di lingkungan yang heterogen dan usaha untuk bisa diterima membuat saya sedikit melonggarkan pergaulan.
Beberapa saat saya berjalan secara autopilot. Mencoba membangun diri lagi dan tetap fokus pada tujuan. Saya ingat dulu hiburan saya adalah tarbiyah pekanan yang untuk menjangkaunya membutuhkan waktu kurang lebih 3 jam untuk perjalanan pulang pergi. Di sinilah saya mengerti, bahwa salah satu tempat terbaik mengisi diri adalah tempat berkumpul bersama orang-orang yang selalu mengingatkanmu tentang jalan kebaikan.
Disitu juga saya paham. Bahwa kegalauan bisa jadi merupakan cara Allah untuk mengingatkan tentang kepada siapa harap mesti digantungkan, dan kepada siapa semua urusan dikembalikan.
Saat saya galau soal perasaan. Allah tunjukkan kelemahan saya, sekaligus jalan bagi saya memperbaikinya. Pun saat saya merasa bukan siapa-siapa, Allah tunjukkan bahwa Dia senantiasa memperhatikan.
Di saat seperti ini, saya yang awalnya sempat melupakan soalan pernikahan. Akhirnya mulai memikirkannya lagi. Allah mengirimkan seorang teman yang bersedia menjadi teman hidup. Yang menawarkan janji ijab qabul. Orang pertama yang membuat saya berani membicarakan tentang lawan jenis kepada orang tua.
Sejujurnya butuh waktu untuk menerimanya. Baru saya sadari bahwa radar emosiku sempat ku nonaktifkan.
Mengaktifkan lagi beberapa emosi yang sempat kutekan dalam diri memberikan konsekuensi yang tidak saya sadari sebelumnya: emosi saya penuh dan membanjir. Terbiasa melakukan apapun sendirian, saya akhirnya merasa bahwa saya butuh perhatian. Dan saya ingin diterima selebih dan sekurangnya saya.
Dan akhirnya saya berada di titik ini. Menunggu hari diucapkannya ijab qabul. Masih jauh sebenarnya. Masih banyak kekhawatiran. Mungkin saya bukan perempuan terbaik yang pernah ditemuinya. Mungkin luapan perasaan dan emosiku akan membanjirinya. Saya tidak tau apa yang membuat dia tertarik. Tapi semoga bukan pada hal-hal fana yang akan memudar nantinya.
Sampai di sini masih terus merenungi. Gejolak perasaan yang sempat naik turun saya rasakan, memberikan pelajaran yang kadang terlambat saya sadari. Memendam segalanya sendiri, membuat saya menyadari bahwa Allah satu-satunya yang mengerti jiwa saya. Dan pasangan hidup saya kelak, semoga diberikan pemahaman olehNya, bahwa saya adalah individu yang sangat-sangat tidak sempurna.
-RS
*sudah lama ditulis tapi baru posting. Supaya tersimpan rapi seandainya nanti memoriku memudar.
Komentar