Teruntuk manusia mungil yang mungkin sedang terlelap di dalam sana, yang menjadi sumber harapan, kebahagiaan dan tentu saja kekhawatiran sejak awal tahun ini. Ternyata perempuan (atau mungkin cuma saya), bisa selebay ini dalam khawatir.
Melihat kembali ke awal tahun ini, saat pertama kali melihat dua garis merah. Pertama kali menyadari keberadaanmu. Kaget. Kalau saja ada alat yang bisa merekam perasaan, tentu saja saya sangat ingin merekam campur aduknya perasaan saya saat itu. Tapi ada satu perasaan yang dominan: khawatir. Entah khawatir karena apa. Mungkin khawatir tidak bisa menjadi rumah yang nyaman untukmu selama sembilan bulan ke depan.
Disaat itu pula kita melakukan perjalanan cukup panjang yang sekali lagi membuat saya khawatir. Wujudmu yang bahkan belum terlihat. Dan fase itu adalah fase paling berisiko untuk keberadaan kamu di dalam sana. Dalam hati saya ingin menguatkan kamu, 'bertahan ya'. Padahal itu adalah untuk menenangkan diri sendiri.
Tapi kamu hebat, kamu berhasil bertahan tanpa ada sedikitpun keluhan yang saya rasakan. Saat itu saya yakin, saya mengandung seorang jagoan.
3 minggu kemudian, pertama kali melihat wujudmu lewat sebuah layar, seonggok daging yang terhubung dengan tali pusar. Saya masih khawatir, apakah itu kamu? Dan saat pertama kali mendengar detak jantungmu yang seperti derap kuda memenuhi ruangan, saya terharu. Ternyata kamu benar-benar ada. Ada kehidupan yang Allah titipkan dalam rahim saya.
Menjalani trimester pertama. Cukup berat. Waktu makan adalah waktu paling menyiksa. Tidak ada yang bisa masuk ke lambung tanpa bantuan air putih. Tapi yang saya khawatirkan cuma kamu. Karena kita sedang berbagi tubuh, berbagi nutrisi. Tumbuh kembangmu adalah prioritas. Saya memotong jam kerja, memaksa makanan untuk bisa masuk, beristirahat lebih banyak, karena energi saya seperti terkuras, katanya itu karena tubuh ini sedang membangun rumah untukmu di dalam sana. Kadang saya merasa lemah, tapi yang saya khawatirkan cuma satu: kamu. Kamu harus tumbuh dengan baik dan sehat.
Belum lagi masalah emosi. Selain mudah lelah, saya juga menjadi sangat emosional, mudah baper, mudah menangis. Hormon kehamilan katanya. Entah hormon apa yang membuat saya jadi sangat melankolik. Tidak jarang saya merasa harus berjuang sendiri. Melewati masa-masa ini sendiri. Ayah kamu selalu ada, sayang. Hanya saja dia juga berjuang di luar sana untuk memenuhi kita. Setiap kali merasa sendiri, saya menguatkan diri saya. Ada kamu yang sedang saya perjuangkan.
Alhamdulillah masa itu sudah lewat. Memasuki trimester 2, segalanya jadi lebih mudah. Saya dan ayahmu bekerja dari rumah, saya tidak merasa sendiri lagi. Pelukannya sangat nyaman dan saya bisa mendapatkannya kapanpun :). Dan saya bisa makan semuanya sekarang, kamu senang kan? Kali kedua melihatmu di layar, kamu tumbuh dengan baik. Wujudmu sudah seperti manusia sekarang. Semakin membuat saya takjub bahwa ada keajaiban yang saya rasakan tiap hari: keberadaan makhluk mungil dalam tubuh saya.
Meski begitu, kekhawatiran saya tidak hilang, berganti menjadi khawatir yang lain. Kita berada dalam kondisi pandemi. Nanti, kelak saya ceritakan saat kamu dewasa. Yang jelas, jadwal untuk melihatmu lagi terpaksa harus ditunda, rumah sakit menjadi begitu menakutkan sekarang.
Kemudian Ramadhan tiba, dan saya ingin tetap berpuasa di bulan Ramadhan ini. Walaupun dengan rasa bersalah karena tidak mengecek keadaanmu terlebih dahulu. Setiap hari tab internet saya penuh dengan pencarian dengan kata kunci:
"tips berpuasa untuk ibu hamil"
"bagaimana mengetahui bahwa janin tumbuh dan berkembang dengan baik"
"kapan gerakan janin mulai terasa"
"mengapa belum ada gerakan janin di usia 22 minggu"
Dll, dsb..
Saya sempat merasakan gerakanmu, sebelum mulai berpuasa. Entah mungkin hanya angin yang bersarang di usus yang saya artikan sebagai tendangan atau mungkin kamu yang sedang cegukan.
Sekarang tiap malam selepas tarawih saya sengaja berbaring menghadap kiri, sambil mengelus-elus, kadang memencet halus, menggelitik perut sendiri, untuk memancing kamu bergerak. Please sweetheart, just give me a sign that you're okay inside. Sekarang saya sangat ingin ke rumah sakit hanya untuk mendengar detak jantungmu sekali lagi. Memastikan kamu baik-baik saja, pertumbuhan dan perkembanganmu normal sesuai usia. Tidak ada hal lain yang saya khawatirkan sekarang, cuma kamu, si kecilku..
"Ibu adalah madrasah pertama untuk anaknya, tapi anak bisa jadi madrasah seumur hidup untuk ibunya"
-jagungrebus-
Kutipan itu baru saya baca di laman tumblr. Dan saya tersadar, betapa kamu telah mengajarkan saya banyak hal, sayang. Banyak sekali. Termasuk bagaimana seharusnya kita bertawakkal dan bersabar untuk hal-hal di luar kemampuan kita. Maafkan saya yang masih belum sempurna. Saya masih belajar menjadi istri, lalu datang lagi pembelajaran baru untuk menjadi seorang ibu.
Masih banyak lagi kekhawatiran yang akan datang, setengah jalan lagi perjalanan kita bersama dalam satu tubuh. Sebelum hari perjumpaan itu tiba, kamu harus kuat dan sehat ya, si kecilku. Kami mencintaimu, sejak pertama kali melihat dua garis merah itu.
-Dari saya, perempuan yang nanti akan kamu panggil Bunda, atau mungkin Ibu, atau Mama, atau apapun itu. Salam hangat dari ayahmu, yang mungkin nanti akan kamu panggil Abi. We love you!-
Melihat kembali ke awal tahun ini, saat pertama kali melihat dua garis merah. Pertama kali menyadari keberadaanmu. Kaget. Kalau saja ada alat yang bisa merekam perasaan, tentu saja saya sangat ingin merekam campur aduknya perasaan saya saat itu. Tapi ada satu perasaan yang dominan: khawatir. Entah khawatir karena apa. Mungkin khawatir tidak bisa menjadi rumah yang nyaman untukmu selama sembilan bulan ke depan.
Disaat itu pula kita melakukan perjalanan cukup panjang yang sekali lagi membuat saya khawatir. Wujudmu yang bahkan belum terlihat. Dan fase itu adalah fase paling berisiko untuk keberadaan kamu di dalam sana. Dalam hati saya ingin menguatkan kamu, 'bertahan ya'. Padahal itu adalah untuk menenangkan diri sendiri.
Tapi kamu hebat, kamu berhasil bertahan tanpa ada sedikitpun keluhan yang saya rasakan. Saat itu saya yakin, saya mengandung seorang jagoan.
3 minggu kemudian, pertama kali melihat wujudmu lewat sebuah layar, seonggok daging yang terhubung dengan tali pusar. Saya masih khawatir, apakah itu kamu? Dan saat pertama kali mendengar detak jantungmu yang seperti derap kuda memenuhi ruangan, saya terharu. Ternyata kamu benar-benar ada. Ada kehidupan yang Allah titipkan dalam rahim saya.
Menjalani trimester pertama. Cukup berat. Waktu makan adalah waktu paling menyiksa. Tidak ada yang bisa masuk ke lambung tanpa bantuan air putih. Tapi yang saya khawatirkan cuma kamu. Karena kita sedang berbagi tubuh, berbagi nutrisi. Tumbuh kembangmu adalah prioritas. Saya memotong jam kerja, memaksa makanan untuk bisa masuk, beristirahat lebih banyak, karena energi saya seperti terkuras, katanya itu karena tubuh ini sedang membangun rumah untukmu di dalam sana. Kadang saya merasa lemah, tapi yang saya khawatirkan cuma satu: kamu. Kamu harus tumbuh dengan baik dan sehat.
Belum lagi masalah emosi. Selain mudah lelah, saya juga menjadi sangat emosional, mudah baper, mudah menangis. Hormon kehamilan katanya. Entah hormon apa yang membuat saya jadi sangat melankolik. Tidak jarang saya merasa harus berjuang sendiri. Melewati masa-masa ini sendiri. Ayah kamu selalu ada, sayang. Hanya saja dia juga berjuang di luar sana untuk memenuhi kita. Setiap kali merasa sendiri, saya menguatkan diri saya. Ada kamu yang sedang saya perjuangkan.
Alhamdulillah masa itu sudah lewat. Memasuki trimester 2, segalanya jadi lebih mudah. Saya dan ayahmu bekerja dari rumah, saya tidak merasa sendiri lagi. Pelukannya sangat nyaman dan saya bisa mendapatkannya kapanpun :). Dan saya bisa makan semuanya sekarang, kamu senang kan? Kali kedua melihatmu di layar, kamu tumbuh dengan baik. Wujudmu sudah seperti manusia sekarang. Semakin membuat saya takjub bahwa ada keajaiban yang saya rasakan tiap hari: keberadaan makhluk mungil dalam tubuh saya.
Meski begitu, kekhawatiran saya tidak hilang, berganti menjadi khawatir yang lain. Kita berada dalam kondisi pandemi. Nanti, kelak saya ceritakan saat kamu dewasa. Yang jelas, jadwal untuk melihatmu lagi terpaksa harus ditunda, rumah sakit menjadi begitu menakutkan sekarang.
Kemudian Ramadhan tiba, dan saya ingin tetap berpuasa di bulan Ramadhan ini. Walaupun dengan rasa bersalah karena tidak mengecek keadaanmu terlebih dahulu. Setiap hari tab internet saya penuh dengan pencarian dengan kata kunci:
"tips berpuasa untuk ibu hamil"
"bagaimana mengetahui bahwa janin tumbuh dan berkembang dengan baik"
"kapan gerakan janin mulai terasa"
"mengapa belum ada gerakan janin di usia 22 minggu"
Dll, dsb..
Saya sempat merasakan gerakanmu, sebelum mulai berpuasa. Entah mungkin hanya angin yang bersarang di usus yang saya artikan sebagai tendangan atau mungkin kamu yang sedang cegukan.
Sekarang tiap malam selepas tarawih saya sengaja berbaring menghadap kiri, sambil mengelus-elus, kadang memencet halus, menggelitik perut sendiri, untuk memancing kamu bergerak. Please sweetheart, just give me a sign that you're okay inside. Sekarang saya sangat ingin ke rumah sakit hanya untuk mendengar detak jantungmu sekali lagi. Memastikan kamu baik-baik saja, pertumbuhan dan perkembanganmu normal sesuai usia. Tidak ada hal lain yang saya khawatirkan sekarang, cuma kamu, si kecilku..
"Ibu adalah madrasah pertama untuk anaknya, tapi anak bisa jadi madrasah seumur hidup untuk ibunya"
-jagungrebus-
Kutipan itu baru saya baca di laman tumblr. Dan saya tersadar, betapa kamu telah mengajarkan saya banyak hal, sayang. Banyak sekali. Termasuk bagaimana seharusnya kita bertawakkal dan bersabar untuk hal-hal di luar kemampuan kita. Maafkan saya yang masih belum sempurna. Saya masih belajar menjadi istri, lalu datang lagi pembelajaran baru untuk menjadi seorang ibu.
Masih banyak lagi kekhawatiran yang akan datang, setengah jalan lagi perjalanan kita bersama dalam satu tubuh. Sebelum hari perjumpaan itu tiba, kamu harus kuat dan sehat ya, si kecilku. Kami mencintaimu, sejak pertama kali melihat dua garis merah itu.
-Dari saya, perempuan yang nanti akan kamu panggil Bunda, atau mungkin Ibu, atau Mama, atau apapun itu. Salam hangat dari ayahmu, yang mungkin nanti akan kamu panggil Abi. We love you!-
Komentar