Pembelajaran di tahun ajaran baru sudah dimulai dengan sistem distant learning atau pembelajaran jarak jauh. Sudah sejak lama sebenarnya keberadaan internet dimanfaatkan dalam pendidikan. Dapat dilihat dari merebaknya online course dan banyaknya materi pembelajaran yang bisa didapatkan secara daring. Sebenarnya sudah sejak lama pemerintah mengintegrasikan pembelajaran kita dengan kemajuan teknologi sebagai bentuk adaptasi terdapat perubahan. Sehingga saat pandemi ini menyerang, meskipun belum ada rumusan yang baik, kita terpaksa mengimplementasikan pembelajaran jarak jauh dengan memanfaatkan internet. Sejauh ini semuanya masih terasa mudah. Tapi yang perlu kita ingat adalah setiap perubahan pasti memiliki tantangan masing-masing.
Kita merasakan kemudahan karena berada di lingkungan yang mendukung sistem pembelajaran ini. Tapi tidak bisa kita lupakan bahwa ada orang-orang yang tidak seberuntung kita baik dengan lingkungan maupun modal untuk beradaptasi. Contoh sederhananya smartphone dan kuota yang menjadi modal utama dalam sistem pembelajaran ini. Pembelajaran online ini dilatar belakangi oleh pandemi covid 19 yang mengguncang bukan saja dunia kesehatan, tapi juga ekonomi. Banyak orang kehilangan pekerjaan dan pemasukan, jangankan untuk hp dan internet, untuk makan di besok hari saja masih pusing. Padahal pendidikan adalah hak setiap anak. Ini cuma contoh dari permasalahan yang ada pada masyarakat yang mungkin lingkungan hidupnya tidak senyaman kita.
Sementara itu, siswa kelas 12 baru saja menyelesaikan UTBK yang nilainya akan menjadi acuan untuk masuk ke PTN melalui jalur SBMPTN. Saya bekerja di bidang pendidikan non formal dan bisa dikatakan berada di kalangan orang-orang privileged. Kenapa begitu? Kita tahu bahwa persaingan untuk masuk PTN itu cukup ketat sehingga banyak yang berpikir bahwa belajar di sekolah masih belum cukup. Solusinya adalah pembelajaran tambahan melalui bimbel dengan biaya yang tidak sedikit. Orang-orang privileged akan selalu punya pilihan untuk mendapatkan pendidikan terbaik. Sekolah swasta yang mahal dengan infrastrukturnya yang lengkap, memilih untuk homeschooling, atau menambah jam belajar di bimbel atau bahkan mengundang guru untuk privat di rumah.
Lalu bagaimana dengan mereka yang berasal dari kalangan less privilege dengan kemampuan akademik yang tidak cukup untuk bersaing? Padahal bisa jadi mereka mengincar PTN agar bisa mendapatkan pendidikan berkualitas dengan biaya lebih murah. Karena PTS yang berkualitas tentu saja jauh lebih mahal.
Karena itu saya sering bilang ke siswa-siswa saya yang belajarnya ogah-ogahan, bahwa posisi mereka saat ini merupakan mimpi bagi anak-anak lain yang kurang beruntung.
Saya pernah membaca hasil penelitian yang menyebutkan bahwa anak yang terlahir dari keluarga miskin akan tetap menjadi miskin saat dewasa. Orang-orang less privileged ini, untuk bisa menikmati pendidikan saja harus struggling dengan kondisi yang tidak menguntungkan. Bukan hanya masalah ekonomi, tapi juga asupan informasi yang berpengaruh pada pandangan tentang pendidikan. Boro-boro mau ikut seminar pengembangan diri, definisi pengembangan diri saja mungkin tidak paham. Mau ikut les untuk mempelajari skill baru? Uang sks saja mungkin masih menunggak. Banyak yang sering nyinyir dengan bilang bahwa sekolah dan kuliah itu untuk mencari ilmu, bukan untuk mencari ijazah. Tidak salah memang, tapi saya yang pernah melihat anak-anak less privileged yang berusaha kuliah dengan segala keterbatasannya, menjadi terenyuh. Kita seharusnya menjadi sedikit lebih peka.
Bagi kalangan less privileged, menempuh pendidikan tinggi bukan hanya tentang gengsi, mengejar passion, atau karena mencintai ilmu. Tapi lebih pada usaha perbaikan nasib dan peningkatan taraf hidup. Bagi mereka, ijazah adalah jembatan menuju hidup yang lebih baik. Karena bisa jadi asupan informasi yang mereka terima selama ini seperti itu.
Sebenarnya saya bersyukur dengan usaha pemerintah sejauh ini dengan menggratiskan pendidikan wajib, adanya beasiswa bidik misi dan banyak beasiswa lain di tingkat sarjana juga adanya dana abadi untuk beasiswa LPDP di tingkat pascasarjana. Tapi tentu saja masih harus ada evaluasi apakah dari tataran implementasi, teman-teman kaum dhuafa sudah menerima manfaatnya tanpa ada diskriminasi? Selain itu tidak bisa dipungkiri bahwa masih ada gap yang perlu ditutupi. Pembangunan yang belum merata, pemerataan pendidikan sampai ke daerah tertinggal, pemerataan kualitas guru sampai ke daerah-daerah, dll.
Mungkin saya mikirnya kejauhan. Tapi saya menulis ini hanya sebagai orang yang pernah melihat mereka yang berada di posisi kurang beruntung. Saya juga tidak menawarkan solusi apapun, hanya bisa berharap semoga masih banyak orang-orang baik yang bisa memberi manfaat pada semua kalangan. Semoga kebijakan-kebijakan yang dibuat hari ini bisa merangkul semua pihak. Termasuk kaum dhuafa yang kadang tidak bisa mendapatkan haknya untuk pendidikan yang baik.
Jika ada anak-anak usia sekolah atau mereka yang ingin berkuliah masih belum bisa menempuh pendidikan karena keterbatasan atau diskriminasi keadaan, maka kita masih berhutang.
Komentar