Jika ada yang mengajak saya bicara tentang feminisme, maka saya hanya bisa menjawab: sependek yang saya pahami, islam sudah mengatur tentang hak dan kewajiban perempuan, islam juga mengatur tentang kesetaraan perempuan, feminisme adalah produk pemikiran manusia yang bisa jadi ada cacatnya. Dalam beberapa hal ia beririsan dengan konsep perempuan dalam islam, dalam hal lain justru bertentangan.
Saya mencukupkan diri sampai di situ. Karena saya tidak belajar mendalam tentang feminisme, dan saya paham, feminisme punya banyak jenis, dan konsep yang ada saat ini masih belum final dan masih akan terus berkembang.
Selain itu, saya masih belum bisa relate. Saya berada dalam keluarga yang berpikiran cukup terbuka. Sebagai -perempuan saya diizinkan untuk pergi kemanapun dalam rangka menuntut ilmu. Memang ada perkataan orang-orang seperti 'perempuan tidak perlu sekolah tinggi', 'perempuan yang sekolah tinggi akan susah dapat jodoh', dll. Tapi tidak pernah saya tanggapi. Terbukti saya malah dapat jodoh justru pas kuliah S2 :p
Setelah menikah juga suami saya bukan tipe yang mengekang dan menganggap perempuan tidak perlu bekerja. Bahkan kedua kakak ipar saya semuanya bekerja dan menduduki posisi yang penting di kantornya masing-masing. Di tempat kerja saya sekarang, perempuan juga dinilai sama dengan laki-laki. Semuanya dinilai dari kinerja dan kompetensi.
Maka bicara tentang perempuan tidak selalu berurusan dengan feminisme. Tidak semua perempuan ingin disamakan dengan laki-laki ataumengejar eksistensi. Mereka hanya ingin hak-hak dasarnya terpenuhi. Mungkin suara-suara para feminis yang menggugat kedudukan laki-laki atau bahkan menggugat ajaran agama menutupi suara-suara para perempuan yang menyuarakan tentang apa sebenarnya realita yang mereka alami. Keadaan saya yang termasuk privileged tidak menafikan kenyataan bahwa di luar sana banyak perempuan-perempuan yang struggle dengan keadaan.
Saat saya melahirkan anak pertama, saya cukup beruntung karena suami saya dapat izin untuk bekerja dari rumah sehingga bisa mendampingi saya selama hampir seluruh cuti saya. Jika saja suara perempuan bisa didengarkan, maka kami ingin agar setelah melahirkan, para ayah juga bisa mendapatkan cuti, karena masa-masa adaptasi sebagai ibu baru itu sangat membutuhkan pendampingan suami. Hal-hal ini seperti ini hanya bisa dimengerti oleh para perempuan
Selain itu, jika seorang ibu ingin berkhidmat di ruang publik. Maka ia masih harus memilih, antara keluarga dan atau karir. Padahal jika sistem yang ada sudah ramah perempuan, maka perempuan bisa tetap menjalani keduanya. Mungkin ada yang berpendapat bahwa sudah seharusnya perempuan yang berkeluarga untuk tetap mengutamakan anak daripada pekerjaan. Saya sendiri setuju, setelah menjadi ibu saya menyadari bahwa saya tidak pernah bisa meninggalkan anak saya terlalu lama. Tapi bagaimana dengan para single mother yang harus tetap bekerja untuk menafkahi diri dan anak-anaknya? Atau para ibu yang harus tetap bekerja untuk membantu ekonomi keluarga? Kita tidak bisa menutup mata dari hal-hal seperti ini.
Dulu saat masih kuliah saya sempat magang di satu kantor dan saya melihat seorang karyawan perempuan harus pumping sembunyi-sembunyi di kantornya. Dulu saya menganggap itu normal, begitupun orang lain. Padahal sebenarnya para ibu pekerja butuh ruang menyusui yang memadai di kantor. Dan hal ini hanya bisa dimengerti oleh perempuan.
Cuti melahirkan hanya 3 bulan, sementara masa ASI eksklusif adalah 6 bulan. Sementara itu tidak semua kantor menyediakan nursery room. Belum lagi perasaan insecure dan gelisah karena harus menitipkan anak. Di tempat kerja juga masih harus berusaha mengikuti ritme kerja agar tetap profesional. Belum lagi perasaan was-was akan persaingan karena tuntutan kerja yang banyak tapi tidak punya waktu lagi untuk mengembangkan skill
Itu hanya sebagian kecil dari contoh realita yang dialami perempuan. Selain itu tentu masih banyak lagi. Soal kemananan kerja, sexual harrashment, pembagian tugas, pengaturan pekerjaan domestik, pembagian peran pengasuhan anak, dll. Terkadang, saking terbiasanya kita pada hal-hal tersebut, kita jadi tidak menyadari bahwa itu sebenarnya menyulitkan perempuan.
Sementara itu, jika ada perempuan bicara tentang perempuan, apalagi tentang peranan di ruang publik, pembagian tugas, hak-hak perempuan, dll, maka yang sering dilontarkan adalah ocehan tentang perempuan harus bisa menampal ban atau mengangkat galon kalau mau kesetaraan, atau perempuan hanya ingin menonjolkan sisi pengorbanan dan perjuangannya. Padahal kita tidak perlu mengglorifikasi hal-hal seperti itu. Perempuan bicara tentang perempuan untuk menggambarkan hal-hal yang tidak tersentuh perspektif laki-laki. Agar kita bisa melihat dengan jelas permasalahan nyatanya, sehingga kita bisa merumuskan kebijakan yang bisa mengakomodasi hak-hak semua kalangan.
Komentar