Langsung ke konten utama

Episode 3: Konflik

Agak maju mundur mau nulis ini karena saya juga masih kesulitan dengan manajemen konflik. Saya pengen postingan di blog ini tetap bijak, tapi nyatanya saya nggak sebijak itu. Jadi saya menuliskan pengalaman dan kontemplasi saya aja. Sekalian memperingati 2 tahun pernikahan kami.

Sejujurnya, saya bukan orang yang mahir dalam manajemen konflik. Sejauh ini yang saya bersyukur bahwa konflik kami nggak jauh-jauh dari rebutan kamar mandi, pulang telat, terlalu sibuk dengan urusan masing-masing, susah nyari quality time berdua, dll. Jangan dibayangkan berantemnya berantem yang romantis alaala drama gitu ya. Nggak. Kami yang beneran berantem gegara hal itu wkwk. 

Satu saya pelajari, dalam rumah tangga, nggak ada yang namanya racikan pas untuk menengahi sebuah konflik. Sama halnya dengan nggak ada racikan yang paten dalam membangun chemistry. Semuanya bergantung dari kondisi masing-masing. Tapi yang penting adalah, semua hal selalu bisa diusahakan. Kita bisa melihat sejauh mana keinginan dua belah pihak bisa saling dikompromikan. Dalam pernikahan memang belajar itu nggak kenal ruang dan waktu. Kita selalu bisa belajar dari kemarahan kita dan kemarahan pasangan, dari sikap maupun dampaknya. 

Tentu saja kita nggak bisa mengubah sikap dan pandangan orang lain, termasuk pasangan kita. Satu-satunya yang bisa kita kontrol adalah diri kita sendiri.

Biasanya, yang pertama kali saya lakukan adalah mengidentifikasi diri saya sendiri. Kenapa saya marah? Kenapa saya nggak suka? Apa karena saya merasa diabaikan? Apa karena saya kesepian? Atau lagi lapar? Apa ini udah dipendam sejak lama atau muncul secara spontan? Apa saya merasa tidak percaya diri? Merasa insecure? Atau lagi PMS?

Lalu saya mencari jawaban. Bagus kalau ketemu jawabannya dan bisa menenangkan diri sendiri sebelum meledak. Seringnya malah meledak duluan wkwk. Emang ternyata yang paling susah dilakukan itu adalah tetap berpikir jernih saat kepala dipenuhi amarah ya. Mungkin karena itu lebih banyak orang yang menyesali bicaranya daripada diamnya.

Jika pasangan saya yang marah, saya biasanya mengidentifikasi juga kira-kira apa yang salah. Yang perlu diingat adalah, Kalau pasangan kita marah kadang memang belum tentu karena kita salah. Pun sebaliknya, kalau kita marah bukan berarti karena pasangan kita yang salah. Bisa jadi karena kesalahpahaman, kurangnya komunikasi, atau memang stok sabar kita aja yang lagi habis.

Kalau kita berkonflik dengan teman, rekan kerja, atasan, atau siapapun, kita selalu bisa memilih pergi untuk mendinginkan suasana. Tapi kalau dalam rumah tangga kan nggak mungkin ya sesukasuka mau pergi. Lagipula setiap konflik seharusnya tidak pernah melewati pintu rumah kita. Kecuali untuk hal-hal yang memang butuh pihak ketiga sebagai mediator (amitamit semoga kita nggak sampai ke konflik jenis ini). Karena inilah butuh nafas panjang untuk menjalani sebuah pernikahan.

Tidak mungkin kita menjalani sebuah hubungan jangka panjang tanpa konflik. Yang bisa kita lakukan adalah terus belajar agar setiap ada konflik, kita nggak disitu-situ aja. Kita perlu untuk belajar tentang pasangan kita dan tentang diri kita sendiri. Karena inilah sangat penting untk selesai dengan diri sendiri sebelum menikah. Meskipun, percayalah, setelah menikah kita akan belajar mengenal diri kita sendiri dalam versi lain. 

Contohnya, Saya dulu sering bertanya, kok bisa saya kesal kalau suami saya berangkat kerjanya tepat waktu? (Hahahha ini serius loh di awal-awal dulu). Ohh rupanya saya masih pengen berduaan di rumah. Ohh jadi gini rasanya bucin. Padahal meniqa itu bukan cuma tentang pacaran halal, tapi juga nafkah sandang pangan papan yang harus didapatkan dengan kerja. Ini kok saya malah kayak gini pas suami kerja.

Sebuah bukti bahwa saya belum mengenal diri saya sendiri. Setidaknya diri saya dalam versi bucin.

Dalam menghadapi konflik, ada orang yang suka meluapkan kemarahannya dulu baru kemudian berpikir. Ada yang berusaha sekuat tenaga untuk bisa menahan diri. Ada yang bodoamat dan menunggu semua reda dengan sendirinya. Ada yang nggak pede dan langsung minta maaf walaupun bisa jadi dia nggak salah. Tapi di samping semua itu, kita harus yakini bahwa dalam berkonflik, tidak ada pihak yang menang dan kalah. Tidak ada yang seratus persen benar dan seratus persen salah. Semua pihak pasti tersakiti. Pada akhirnya mereka yang tetap bertahan adalah mereka yang selalu berlapang dada dengan kekurangan pasangannya.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Glimpse of Memorable Memories

I am writing this with Kiss the Rain and Stay in Memory by Yiruma playing in Youtube. It seriously making me baper . I am trying to remember every single thing we've been through together in the past 3 months. But this is not gonna be a long post that show every details. It's just the voice of  my heart (I don't know how to say curahan hati in English). Sorry if there are some things missed. Our story started at 29th of November 2015. In the day before the opening of our course program, we decided to meet in the gate of ITB for looking for a language center building. There were only 8 of us. Some of us maybe already knew each other because we came from the same region. But mostly, that was our first meet. Oh yes, I already met Cintya the beautiful moon accidentally in Juanda airport before. The next day, we finally met each other. All of us. I remember we sat in the front, introduced our name and the place where we came from. I also remember the Jembernese came togethe...

Perempuan, jodoh dan S2.

Kemarin saya dan Mama saya ngobrol santai di meja makan. Tiba-tiba bahasannya menyerempet ke arah jodoh. Sebenarnya saya selalu menghindari topik macam begini dengan keluarga saya. " Kamu kalau udah umur 25 belum nikah, udah susah cari jodoh nanti. S2 lagi" Tante saya juga pernah bilang : "Kamu nggak mau sama si X? Dia S2 juga loh" Wkwk xD Ada yang perlu saya luruskan disini: Saya tidak pernah menganggap kuliah sebagai sarana mencari ijazah lalu pamer gelar dan lantas pilih-pilih teman apalagi jodoh. Allah tidak menilai orang dari ijazah, lantas saya siapa mau pilih suami dari strata pendidikan? Wkwk. Alasan saya melanjutkan studi S2 bukan biar uang panai jadi tinggi macam yang di meme itu xD. Bahkan kalau misalnya saya juga menganggap diri saya sebuah barang yang bisa dilabeli dengan harga, saya juga tidak akan melabeli diri saya dengan harga tinggi. Kenapa? Saya yang tau  diri saya dengan semua kekurangannya. Dari segi akademik saya bukan mahasiswa yan...

Pada Deretan Huruf

Pada deretan huruf, aku tuliskan cerita. Tentang kita yang menyapa pagi, meramu siang, dan menghimpun malam. Kita yang sebelumnya tak saling kenal, dunia kita tak bersentuhan, lingkaran kita tak beririsan, lantas dipertemukan dalam suatu epidode yang mengakrabkan kita dengan cara istimewa. Pada deretan huruf, aku abadikan kisah. Tentang kau dan aku yang beda, yang tak serupa, tapi berjalan beriringan. Setiap kata merapalkan kejujuran, bahwa setiap beda tak mesti bertentang. Hal yang kadang membuat kita berdebat, nyatanya tetap bisa membuat kita tertawa bersama. Pada deretan huruf, aku rekam setiap momen. Tentang kau yang memahamkanku bahwa dunia bukanlah ruang sempit. Ia tak melulu tentang barat dan timur, atau utara dan selatan. Kau pula yang memahamkanku bahwa kita adalah bagian dari milyaran manusia, yang tertakdir bertemu disini. Pada deretan huruf, aku bekukan kenangan. Tentang kita yang selalu berceloteh bahwa hari seperti dilipat, dan harapan agar ia bisa sedikit melambat....