Agak maju mundur mau nulis ini karena saya juga masih kesulitan dengan manajemen konflik. Saya pengen postingan di blog ini tetap bijak, tapi nyatanya saya nggak sebijak itu. Jadi saya menuliskan pengalaman dan kontemplasi saya aja. Sekalian memperingati 2 tahun pernikahan kami.
Sejujurnya, saya bukan orang yang mahir dalam manajemen konflik. Sejauh ini yang saya bersyukur bahwa konflik kami nggak jauh-jauh dari rebutan kamar mandi, pulang telat, terlalu sibuk dengan urusan masing-masing, susah nyari quality time berdua, dll. Jangan dibayangkan berantemnya berantem yang romantis alaala drama gitu ya. Nggak. Kami yang beneran berantem gegara hal itu wkwk.
Satu saya pelajari, dalam rumah tangga, nggak ada yang namanya racikan pas untuk menengahi sebuah konflik. Sama halnya dengan nggak ada racikan yang paten dalam membangun chemistry. Semuanya bergantung dari kondisi masing-masing. Tapi yang penting adalah, semua hal selalu bisa diusahakan. Kita bisa melihat sejauh mana keinginan dua belah pihak bisa saling dikompromikan. Dalam pernikahan memang belajar itu nggak kenal ruang dan waktu. Kita selalu bisa belajar dari kemarahan kita dan kemarahan pasangan, dari sikap maupun dampaknya.
Tentu saja kita nggak bisa mengubah sikap dan pandangan orang lain, termasuk pasangan kita. Satu-satunya yang bisa kita kontrol adalah diri kita sendiri.
Biasanya, yang pertama kali saya lakukan adalah mengidentifikasi diri saya sendiri. Kenapa saya marah? Kenapa saya nggak suka? Apa karena saya merasa diabaikan? Apa karena saya kesepian? Atau lagi lapar? Apa ini udah dipendam sejak lama atau muncul secara spontan? Apa saya merasa tidak percaya diri? Merasa insecure? Atau lagi PMS?
Lalu saya mencari jawaban. Bagus kalau ketemu jawabannya dan bisa menenangkan diri sendiri sebelum meledak. Seringnya malah meledak duluan wkwk. Emang ternyata yang paling susah dilakukan itu adalah tetap berpikir jernih saat kepala dipenuhi amarah ya. Mungkin karena itu lebih banyak orang yang menyesali bicaranya daripada diamnya.
Jika pasangan saya yang marah, saya biasanya mengidentifikasi juga kira-kira apa yang salah. Yang perlu diingat adalah, Kalau pasangan kita marah kadang memang belum tentu karena kita salah. Pun sebaliknya, kalau kita marah bukan berarti karena pasangan kita yang salah. Bisa jadi karena kesalahpahaman, kurangnya komunikasi, atau memang stok sabar kita aja yang lagi habis.
Kalau kita berkonflik dengan teman, rekan kerja, atasan, atau siapapun, kita selalu bisa memilih pergi untuk mendinginkan suasana. Tapi kalau dalam rumah tangga kan nggak mungkin ya sesukasuka mau pergi. Lagipula setiap konflik seharusnya tidak pernah melewati pintu rumah kita. Kecuali untuk hal-hal yang memang butuh pihak ketiga sebagai mediator (amitamit semoga kita nggak sampai ke konflik jenis ini). Karena inilah butuh nafas panjang untuk menjalani sebuah pernikahan.
Tidak mungkin kita menjalani sebuah hubungan jangka panjang tanpa konflik. Yang bisa kita lakukan adalah terus belajar agar setiap ada konflik, kita nggak disitu-situ aja. Kita perlu untuk belajar tentang pasangan kita dan tentang diri kita sendiri. Karena inilah sangat penting untk selesai dengan diri sendiri sebelum menikah. Meskipun, percayalah, setelah menikah kita akan belajar mengenal diri kita sendiri dalam versi lain.
Contohnya, Saya dulu sering bertanya, kok bisa saya kesal kalau suami saya berangkat kerjanya tepat waktu? (Hahahha ini serius loh di awal-awal dulu). Ohh rupanya saya masih pengen berduaan di rumah. Ohh jadi gini rasanya bucin. Padahal meniqa itu bukan cuma tentang pacaran halal, tapi juga nafkah sandang pangan papan yang harus didapatkan dengan kerja. Ini kok saya malah kayak gini pas suami kerja.
Sebuah bukti bahwa saya belum mengenal diri saya sendiri. Setidaknya diri saya dalam versi bucin.
Dalam menghadapi konflik, ada orang yang suka meluapkan kemarahannya dulu baru kemudian berpikir. Ada yang berusaha sekuat tenaga untuk bisa menahan diri. Ada yang bodoamat dan menunggu semua reda dengan sendirinya. Ada yang nggak pede dan langsung minta maaf walaupun bisa jadi dia nggak salah. Tapi di samping semua itu, kita harus yakini bahwa dalam berkonflik, tidak ada pihak yang menang dan kalah. Tidak ada yang seratus persen benar dan seratus persen salah. Semua pihak pasti tersakiti. Pada akhirnya mereka yang tetap bertahan adalah mereka yang selalu berlapang dada dengan kekurangan pasangannya.
Komentar