Langsung ke konten utama

Motherhood

 Tumben shift saya selesai secepat ini. Suami lagi ada meeting, and here I am, checkin my blog dan menyadari bahwa terakhir kali menulis di sini udah 5 bulan lalu. Waw.

Anyway, yang dimaksud dengan shift di sini adalah pekerjaan utama saya sebagai ibunya Maryam. Jadi shift saya dimulai sejak dia bangun pagi, sampai tidur lagi di malam hari. Karena hari ini libur, saya jadi nggak kerja dan Maryam jadi bisa tidur cepat (di bawah jam 8).

Jadii mari kita bercerita sedikit. Tentang dunia baru saya. Tentang menjadi ibu. Ciehh.

Seperti manusia lainnya, saya sudah melewati banyak sekali fase sebelum sampai ke sini. Setiap fase membutuhkan adaptasi karena bisa jadi banyak yang berubah dengan keadaan. Dan harus saya katakan bahwa menjadi ibu adalah adaptasi terbesar yang pernah saya alami.

Mungkin, seorang yang telah menjadi ibu pun, pengalamannya bisa berbeda. Yang tinggal bareng suami dengan bantuan orang tua/mertua,yang LDR, yang tinggal bareng suami dibantu ART, yang mandiri tanpa orang tua atau ART, semua memiliki pengalaman yang berbeda, sehingga masalahnya pun bisa berbeda. Tapi satu hal yang pasti, hidup setelah menjadi ibu itu berubah 180 derajat.

Mungkin terdengar lebay jika yang membaca ini belum pernah mengalaminya. Dan nggak apa-apa juga karena memang tulisan ini bukan untuk mencari validasi. Hanya sekedar sharing.

Di awal setelah melahirkan ada beberapa perasaan yang tidak bisa saya deskripsikan. Dan saya tidak tau penyebabnya. Saya takut saat sudah memasuki waktu magrib. Saat semua jendela dan pintu ditutup. Saya sedih kalau cuacanya mendung. Mood saya sedikit lebih baik saat cuacanya cerah. Saya jadi merasa kesepian dan yang paling menyakitkan, saya merasa hidup saya nggak ada tujuannya lagi. Saya jadi lebih sering marah-marah ke suami apalagi saat LDR. Saya kesepian. Nggak ada teman. Hidup saya seperti hanya untuk menyusui.

Saya merasa tidak punya siapa-siapa. Saya merasa tidak ada yang peduli. Setelah melahirkan, tentu saja semua orang akan fokus ke bayinya. Tidak ada yang menyadari bahwa seorang Ibu juga baru saja lahir. Saya harus tidur cukup, makan banyak, agar ASI saya banyak. Untuk bayinya. Sama sekali bukan untuk ibunya. Saya makan banyak. Asi saya melimpah. Tapi berat badan saya turun drastis sampai lebih rendah dari berat sebelum hamil.

Bahkan saya masih menangis menulis ini. Dalam keadaan mental saya sudah lebih baik. Tetap saja mengingat masa-masa awal menjadi ibu itu terasa sangat berat. 

Jadi jika ada yang ingin men-judge kurang iman, kurang bersyukur, dll, belajarlah untuk berempati. Dan untuk ibu-ibu yang mengalami hal serupa, bahkan mungkin lebih buruk, percayalah, perasaanmu valid. Jika memang bisa, jangan ragu untuk menghubungi profesional.

Suatu hari saya curhat ke sahabat saya tentang apa yang saya rasakan. Lalu dijawab: "sabar ya.. Akan segera berlalu kok. Waktu sekarang kadang nggak berasa."

Kalimat sederhana tapi mampu membuat saya merasa punya harapan lagi. Masa-masa ini akan berlalu, kamu nggak akan disini selamanya. Meskipun bagian "waktu sekarang kadang nggak berasa" agak kurang tepat. Karena menjadi ibu baru itu berarti 24 jam terasa seperti 24 jam. Apalagi kalau bayimu bangun setiap jam. Tapi bukan itu intinya. Intinya adalah, apapun yang saya rasakan sekarang tidak akan berlangsung selamanya. Bayi saya tidak akan selamanya bayi. Dan saya masih bisa punya kehidupan lagi.

Anyways, semuanya hanya ada di kepala saya ya. Bukan berarti kejadian sebenarnya seperti itu. Bukan berarti orang-orang benar tidak peduli dengan saya. Perasaan saya seperti di luar kendali saat itu. Saya paham dengan baby blues dan post partum depression. Tapi saya nggak tau harus ngapain. Dan saya nggak tau cara mengkomunikasikannya. 

Seiring berjalannya waktu, semuanya membaik. Perasaan saya membaik. Saya kembali ke Bogor. Tinggal bertiga dengan bayi dan suami saya. Untuk pertama kalinya kami hidup sebagai keluarga kecil. Keadaan saya membaik. Tapi tetap saja adaa aja yang bikin stres haha.

Saya tetap bekerja setelah punya bayi. Tempat kerja saya baik sekali mengizinkan saya untuk kerja dari rumah saja, sejak awal pandemi sampai sekarang. Bekerja menjadi satu-satunya cara saya untuk berkomunikasi dalam bahasa orang dewasa (selain ngobrol dengan suami). Karena 24 jam waktu saya dihabiskan bersama bayi. Saat itu saya kerja bukan untuk uang karena suami saya jelas bisa memberikan semua yang kami butuhkan. Saya kerja karena saya merasa itulah yang membuat saya berharga.

Sekali lagi, itu hanya ada di kepala saya. Tentu saja saya tetap berharga apapun pekerjaan saya. 

Sampai saat ini, saya masih menjalani peran sebagai ibu rumah tangga dan ibu bekerja (pandemi membuatnya mungkin). Dan saya sangat menikmatinya. Satu setengah tahun menjadi ibu, dan saya baru menemukan cara untuk menjadi bahagia:

Pertama, ikhlas. Ikhlas bahwa hidup saya berubah dan tidak akan pernah sama lagi seperti saat sebelum punya anak. Ikhlas bahwa saya memang harus berpisah dengan diri saya yang dulu.

Kedua, sadar. Sadar sepenuhnya bahwa peran ini saya yang ambil. Saya yang memilih untuk menikah, hamil, punya anak. Dan pilihan ini datang dengan konsekuensi. Dan saya harus bertanggung jawab dengan itu. Dengan menyadari itu, walaupun berat, saya bisa lebih tenang dan tidak grasa grusu marah-marah nggak jelas karena memang ini pilihan saya.

Ketiga, mengenal diri sendiri. Saya nggak bahagia kenapa? Memang definisi bahagia saya apa? Penyebab sumbu pendek saya apa? Salah satu yang paling terlihat adalah saya stres dan marah-marah saat bayi saya makannya nggak benar. Saya juga cepat marah kalau lagi lapar atau mengantuk. Jadi sebisa mungkin dihindari.

Keempat: jangan terlalu keras pada diri sendiri. Saya tidak akan pernah bisa menjadi ibu sempurna, tapi saya tetap ibu terbaik untuk anak saya. Saya juga mencoba memahami bahwa kapasitas saya sebagai manusia tentu terbatas. Maka tidak apa-apa jika tidak bisa menyelesaikan semua hal. Tidak apa-apa jika tidak bisa menyenangkan semua orang. Dan satu hal yang penting: kita harus selalu memprioritaskan keluarga, tapi jangan sampai luput memikirkan diri sendiri, karena diri kita juga bagian dari keluarga.

Kelima: anak saya tidak akan selamanya bayi. Akan tiba saatnya dia bisa melakukan semua hal sendirian, ada saatnya dia tidak lagi membutuhkanku. Maka selagi dia masih menangisi ketiadaanku di sampingnya, saya akan menikmati setiap momen bersamanya. *mewek:(

Ke-enam: Perbanyak syukur dan meminta pertolongan kepada Dia yang memegang hati manusia. Kita tidak akan bisa melewati ini tanpa pertolonganNya. Minta diberikan kekuatan karena merawat dan mendidik anak bukan hal yang mudah. Jadikan Dia sebagai tempat pertama berkeluh-kesah. Jadikan Dia sebagai tempat pertama meminta pertolongan. Allah the Almighty.

Terakhir, selalu ingat bahwa butuh kematangan emosional untuk merawat dan mendidik anak. Ibu yang bisa mengelola emosinya dengan baik, akan merawat dan mendidik anaknya dengan baik pula. Ibu yang tahu caranya berbahagia dalam setiap keadaan, akan melahirkan anak yang berbahagia juga. Maka jadilah ibu yang bahagia, anakmu tidak membutuhkan ibu yang sempurna, ia membutuhkan ibu yang bahagia.


Sekian curhatan dan kontemplasi dari seorang ibu baru :) 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Glimpse of Memorable Memories

I am writing this with Kiss the Rain and Stay in Memory by Yiruma playing in Youtube. It seriously making me baper . I am trying to remember every single thing we've been through together in the past 3 months. But this is not gonna be a long post that show every details. It's just the voice of  my heart (I don't know how to say curahan hati in English). Sorry if there are some things missed. Our story started at 29th of November 2015. In the day before the opening of our course program, we decided to meet in the gate of ITB for looking for a language center building. There were only 8 of us. Some of us maybe already knew each other because we came from the same region. But mostly, that was our first meet. Oh yes, I already met Cintya the beautiful moon accidentally in Juanda airport before. The next day, we finally met each other. All of us. I remember we sat in the front, introduced our name and the place where we came from. I also remember the Jembernese came togethe...

Perempuan, jodoh dan S2.

Kemarin saya dan Mama saya ngobrol santai di meja makan. Tiba-tiba bahasannya menyerempet ke arah jodoh. Sebenarnya saya selalu menghindari topik macam begini dengan keluarga saya. " Kamu kalau udah umur 25 belum nikah, udah susah cari jodoh nanti. S2 lagi" Tante saya juga pernah bilang : "Kamu nggak mau sama si X? Dia S2 juga loh" Wkwk xD Ada yang perlu saya luruskan disini: Saya tidak pernah menganggap kuliah sebagai sarana mencari ijazah lalu pamer gelar dan lantas pilih-pilih teman apalagi jodoh. Allah tidak menilai orang dari ijazah, lantas saya siapa mau pilih suami dari strata pendidikan? Wkwk. Alasan saya melanjutkan studi S2 bukan biar uang panai jadi tinggi macam yang di meme itu xD. Bahkan kalau misalnya saya juga menganggap diri saya sebuah barang yang bisa dilabeli dengan harga, saya juga tidak akan melabeli diri saya dengan harga tinggi. Kenapa? Saya yang tau  diri saya dengan semua kekurangannya. Dari segi akademik saya bukan mahasiswa yan...

Pada Deretan Huruf

Pada deretan huruf, aku tuliskan cerita. Tentang kita yang menyapa pagi, meramu siang, dan menghimpun malam. Kita yang sebelumnya tak saling kenal, dunia kita tak bersentuhan, lingkaran kita tak beririsan, lantas dipertemukan dalam suatu epidode yang mengakrabkan kita dengan cara istimewa. Pada deretan huruf, aku abadikan kisah. Tentang kau dan aku yang beda, yang tak serupa, tapi berjalan beriringan. Setiap kata merapalkan kejujuran, bahwa setiap beda tak mesti bertentang. Hal yang kadang membuat kita berdebat, nyatanya tetap bisa membuat kita tertawa bersama. Pada deretan huruf, aku rekam setiap momen. Tentang kau yang memahamkanku bahwa dunia bukanlah ruang sempit. Ia tak melulu tentang barat dan timur, atau utara dan selatan. Kau pula yang memahamkanku bahwa kita adalah bagian dari milyaran manusia, yang tertakdir bertemu disini. Pada deretan huruf, aku bekukan kenangan. Tentang kita yang selalu berceloteh bahwa hari seperti dilipat, dan harapan agar ia bisa sedikit melambat....