Dalam perjalanan pulang, di tengah kemacetan kota Bogor.
"Kak, rencananya setelah lulus mau ngapain?"
"Ingin berkontribusi melalui entrepreneurship, saya ingin jadi entrepreneur yang bisa memberdayakan masyarakat."
Saya diam saja mendengarkan.
"Saya ingin menimba ilmu sebanyak-banyaknya di sini, setelah itu saya ingin pergi ke tempat yang belum pernah saya datangi, tempat paling pelosok, ingin mengabdikan diri di sana sambil membangun usaha."
Selanjutnya si kakak bercerita tentang step-step yang akan dia lakukan untuk mewujudkan mimpi-mimpinya.
Lalu saya bertanya pada diri sendiri, hidup seperti apa sebenarnya yang ingin saya jalani? Ingin mencari uang? Eksistensi? Aktualisasi diri? Atau ingin punya kesibukan saja? Ingin berkontribusi dan berdaya? Sambil meluangkan waktu untuk bisa berkumpul bersama orang-orang tersayang, dan menjalani kehidupan dengan tenang? Lalu bagaimana setelah menikah dan punya anak? Bagaimana jika ternyata anak-anak saya membutuhkan saya lebih dari waktu yang bisa saya berikan? Bagaimana agar keluarga saya tidak hanya mendapatkan waktu luang saja? Lalu bagaimana dengan kewajiban terhadap umat? Pertimbangan-pertimbangan ini yang sering saya diskusikan dengan orang tua, dan teman-teman. Ternyata memang seorang muslim harus berusaha untuk mengatur waktu dengan baik agar setiap urusannya teratur. Karena kewajiban kita lebih banyak dari waktu yang kita punya.
Saya lalu berpikir, apakah keinginan saya untuk kembali ke kampus karena saya merasa itu adalah tempat paling ideal? Apa saya terlalu malas untuk terjun ke tempat yang tidak ideal? Apakah kacamata saya terlalu sempit?
Saat seorang teman mengatakan bahwa gaji sebagai dosen itu kecil dan mungkin tidak akan cukup untuk memenuhi kebutuhan, saya seperti dihadapkan pada pilihan, menjadi idealis atau realistis. Dari dulu saya menanamkan dalam benak saya bahwa saya bekerja bukan untuk uang. Saya harus menjadikan profesi saya bukan hanya aktifitas mencari uang tapi juga sebagai bentuk pengabdian. Karena toh berapapun yang saya terima alhamdulillah selalu cukup. Sempat juga berpikir bagaimana kalau saya bekerja di tempat bagus dengan gaji tinggi dan gajinya saja yang dipake beramal wkwk xD.
Tapi saya paham keinginan saya apa. Saya ingin menjadi seorang akademisi dan kembali ke dunia kampus. Sejak aktif di LDK saya melihat banyak sekali ladang amal di dunia kampus. Kampus terlihat seperti pintu penjaga peradaban. Tempat dimana cita-cita dan semangat bertemu. Tempatnya kaum intelektual, tempatnya agent of change, tempatnya penerus bangsa ini. Mahasiswa adalah orang-orang yang nantinya akan mengisi sektor-sektor penting di masa depan.
Selain itu, mengajar, mengembangkan penelitian, dan mengabdi pada masyarakat, adalah tugas akademisi yang bisa memberi saya semangat lagi untuk berbuat sesuatu. Mengajarkan matematika sebagai problem solver, melakukan riset dan menuliskannya ke dalam artikel ilmiah, melakukan pemodelan dan interpretasi, mempelajari metode-metode baru, mengeksplorasi kebaharuan dalam riset, adalah hal-hal yang masih terlihat menakjubkan di mata saya. Meskipun saya tau saya orangnya pesimis, cepat lelah dan punya self-esteem yang rendah xD. Makanya saya butuh semangat dan usaha yang berlapis untuk mencapai apa yang saya inginkan. Banyak tantangan yang harus saya hadapi, tantangan dari dalam diri maupun dari luar.
Cita-cita saya berubah beraturan sesuai dengan kemampuan saya melihat dunia luar. Di usia 25 ini saya masih berusaha untuk bisa fokus pada satu tujuan. Tapi kenyataannya adalah, ternyata hidup saya tidak selalu berjalan sesuai rencana. Hal-hal yang saya usahakan tidak selalu tercapai sesuai dengan yang saya harapkan. Maka saya juga belajar untuk menakar cita-cita sesuai kadarnya. Karena itu dalam ikhtiar mencapai sesuatu saya selalu menanamkan dalam pikiran bahwa takdir saya sudah ditentukan, karenanya saya bertawakkal. Adapun proses untuk mencapainya adalah sesuatu yang harus saya jalani untuk menjemput takdirNya. Karena sudah sunnatullah bahwa rezeki dijemput dengan ikhtiar. Ikhtiar ini juga merupakan bentuk kebaikan Allah, disana tersedia ladang amal jika kita meniatkannya untuk kebaikan, disana juga terdapat pelajaran yang bisa membentuk kita menjadi pribadi yang lebih baik dari waktu ke waktu.
Maka untuk setiap cita-cita yang sudah kita ikhtiarkan namun tidak pernah kita dapatkan karena memang Allah tidak menakdirkannya untuk kita, semoga kita bisa tetap menata hati. Selanjutnya bersiaplah menyambut takdir yang mungkin tidak kita bayangkan sebelumnya.
Dan untuk setiap cita-cita yang akhirnya berhasil kita capai, semoga kita bisa menjadi hamba yang bersyukur dan tidak pernah berhenti belajar, juga senantiasa mengevaluasi niat.
Semoga cita-cita kita bisa menjadi sarana untuk kerja-kerja kebaikan dan sebagai bentuk pengabdian seutuhnya kepada Allah.
Terakhir, teruslah mengasah diri dan mempertajam kompetensi di bidang yang ingin digeluti. Dan jadilah hamba yang selalu siap ditempatkan di manapun. Agar kelak, apapun panggung yang Allah berikan, kita selalu siap untuk berperan disana.
"Kak, rencananya setelah lulus mau ngapain?"
"Ingin berkontribusi melalui entrepreneurship, saya ingin jadi entrepreneur yang bisa memberdayakan masyarakat."
Saya diam saja mendengarkan.
"Saya ingin menimba ilmu sebanyak-banyaknya di sini, setelah itu saya ingin pergi ke tempat yang belum pernah saya datangi, tempat paling pelosok, ingin mengabdikan diri di sana sambil membangun usaha."
Selanjutnya si kakak bercerita tentang step-step yang akan dia lakukan untuk mewujudkan mimpi-mimpinya.
Lalu saya bertanya pada diri sendiri, hidup seperti apa sebenarnya yang ingin saya jalani? Ingin mencari uang? Eksistensi? Aktualisasi diri? Atau ingin punya kesibukan saja? Ingin berkontribusi dan berdaya? Sambil meluangkan waktu untuk bisa berkumpul bersama orang-orang tersayang, dan menjalani kehidupan dengan tenang? Lalu bagaimana setelah menikah dan punya anak? Bagaimana jika ternyata anak-anak saya membutuhkan saya lebih dari waktu yang bisa saya berikan? Bagaimana agar keluarga saya tidak hanya mendapatkan waktu luang saja? Lalu bagaimana dengan kewajiban terhadap umat? Pertimbangan-pertimbangan ini yang sering saya diskusikan dengan orang tua, dan teman-teman. Ternyata memang seorang muslim harus berusaha untuk mengatur waktu dengan baik agar setiap urusannya teratur. Karena kewajiban kita lebih banyak dari waktu yang kita punya.
Saya lalu berpikir, apakah keinginan saya untuk kembali ke kampus karena saya merasa itu adalah tempat paling ideal? Apa saya terlalu malas untuk terjun ke tempat yang tidak ideal? Apakah kacamata saya terlalu sempit?
Saat seorang teman mengatakan bahwa gaji sebagai dosen itu kecil dan mungkin tidak akan cukup untuk memenuhi kebutuhan, saya seperti dihadapkan pada pilihan, menjadi idealis atau realistis. Dari dulu saya menanamkan dalam benak saya bahwa saya bekerja bukan untuk uang. Saya harus menjadikan profesi saya bukan hanya aktifitas mencari uang tapi juga sebagai bentuk pengabdian. Karena toh berapapun yang saya terima alhamdulillah selalu cukup. Sempat juga berpikir bagaimana kalau saya bekerja di tempat bagus dengan gaji tinggi dan gajinya saja yang dipake beramal wkwk xD.
Tapi saya paham keinginan saya apa. Saya ingin menjadi seorang akademisi dan kembali ke dunia kampus. Sejak aktif di LDK saya melihat banyak sekali ladang amal di dunia kampus. Kampus terlihat seperti pintu penjaga peradaban. Tempat dimana cita-cita dan semangat bertemu. Tempatnya kaum intelektual, tempatnya agent of change, tempatnya penerus bangsa ini. Mahasiswa adalah orang-orang yang nantinya akan mengisi sektor-sektor penting di masa depan.
Selain itu, mengajar, mengembangkan penelitian, dan mengabdi pada masyarakat, adalah tugas akademisi yang bisa memberi saya semangat lagi untuk berbuat sesuatu. Mengajarkan matematika sebagai problem solver, melakukan riset dan menuliskannya ke dalam artikel ilmiah, melakukan pemodelan dan interpretasi, mempelajari metode-metode baru, mengeksplorasi kebaharuan dalam riset, adalah hal-hal yang masih terlihat menakjubkan di mata saya. Meskipun saya tau saya orangnya pesimis, cepat lelah dan punya self-esteem yang rendah xD. Makanya saya butuh semangat dan usaha yang berlapis untuk mencapai apa yang saya inginkan. Banyak tantangan yang harus saya hadapi, tantangan dari dalam diri maupun dari luar.
Cita-cita saya berubah beraturan sesuai dengan kemampuan saya melihat dunia luar. Di usia 25 ini saya masih berusaha untuk bisa fokus pada satu tujuan. Tapi kenyataannya adalah, ternyata hidup saya tidak selalu berjalan sesuai rencana. Hal-hal yang saya usahakan tidak selalu tercapai sesuai dengan yang saya harapkan. Maka saya juga belajar untuk menakar cita-cita sesuai kadarnya. Karena itu dalam ikhtiar mencapai sesuatu saya selalu menanamkan dalam pikiran bahwa takdir saya sudah ditentukan, karenanya saya bertawakkal. Adapun proses untuk mencapainya adalah sesuatu yang harus saya jalani untuk menjemput takdirNya. Karena sudah sunnatullah bahwa rezeki dijemput dengan ikhtiar. Ikhtiar ini juga merupakan bentuk kebaikan Allah, disana tersedia ladang amal jika kita meniatkannya untuk kebaikan, disana juga terdapat pelajaran yang bisa membentuk kita menjadi pribadi yang lebih baik dari waktu ke waktu.
Maka untuk setiap cita-cita yang sudah kita ikhtiarkan namun tidak pernah kita dapatkan karena memang Allah tidak menakdirkannya untuk kita, semoga kita bisa tetap menata hati. Selanjutnya bersiaplah menyambut takdir yang mungkin tidak kita bayangkan sebelumnya.
Dan untuk setiap cita-cita yang akhirnya berhasil kita capai, semoga kita bisa menjadi hamba yang bersyukur dan tidak pernah berhenti belajar, juga senantiasa mengevaluasi niat.
Semoga cita-cita kita bisa menjadi sarana untuk kerja-kerja kebaikan dan sebagai bentuk pengabdian seutuhnya kepada Allah.
Terakhir, teruslah mengasah diri dan mempertajam kompetensi di bidang yang ingin digeluti. Dan jadilah hamba yang selalu siap ditempatkan di manapun. Agar kelak, apapun panggung yang Allah berikan, kita selalu siap untuk berperan disana.
Komentar