Mengambil nafas sembari merenungkan kembali, aku telah mengambil keputusan besar dalam hidup: menjadi seorang istri. Is.tri.
Untuk seseorang yang amat sangat terbiasa dengan kesendirian, merasa sangat independen dan bisa melakukan semuanya sendiri, mengambil keputusan untuk berbagi apapun, termasuk berbagi kamar, tempat paling privasi, adalah sebuah keputusan besar.
Mau dikata apa lagi, saat telah datang seseorang, menawarkan hati sebagai rumah tempat kembali, dan keinginan membangun cinta setiap hari, apalagi dia adalah nama yang sudah lama terukir.
-----
Melihat kembali ke belakang, seseorang yang tidak pernah kuduga sebelumnya. Tak ada sapa akrab di awal, hanya sekedar lewat. Bahkan saat kami mulai saling melempar obrolan, semuanya terasa biasa saja. Terlampau biasa untuk sebuah rasa yang entah kenapa, dan entah sejak kapan, mulai menggangguku.
Ya..
Tak bisa kupungkiri bahwa dia telah lama menjadi hal yang kusemogakan, entah sejak kapan. Sering kuselipkan doa. Doa yang sebenarnya membuatku malu, bahkan selalu kuistighfari dalam hati. Sebuah kekalutan yang memaksa otak untuk menerka kejujuran, dan memaksa hati untuk menahan diri. Terlalu sulit mencari titik tengah.
Monolog dalam hati sering terjadi sebagai upaya negosiasi untuk mencari solusi. Bukan solusi sebenarnya, lebih pada pembenaran. Tapi akupun paham, aku tidak berada dalam prioritasnya, atau mungkin tidak berada dalam list perempuan idealnya, hanya perempuan biasa tanpa riasan dan kacamata yang tidak kekinian, baju kelonggaran, dan jilbab kelebaran. Dan lagi perempuan aneh yang tidak jelas pendiriannya, juga terlalu malu untuk mengungkapkan semuanya.
Tapi sekali lagi, rasa ini cukup menganggu. Dan rasa ini butuh pertanggungjawaban.
Malu-malu ku ucapkan doa, masih sama.
Semoga kelak saat ia sudah siap membangun rumah peradabannya sendiri, aku yang dipilih untuk membersamainya. Semoga kelak saat ia sudah siap untuk menggenap, aku yang menjadi pilihannya. Semoga kelak saat ia benar-benar mencari rumah tempat kembali, aku yang menjadi tujuannya.
Doaku terjawab.
Tiga puluh Juni, Arsy berguncang untuk sebuah perjanjian yang sangat kuat antara hamba dengan Tuhannya.
Dan rindu akhirnya terbayar tuntas setelah ucapan ikrar.
-----
Just another tulisan alay. Saat lagi maskeran sambil menunggu suami pulang futsal :)
Untuk seseorang yang amat sangat terbiasa dengan kesendirian, merasa sangat independen dan bisa melakukan semuanya sendiri, mengambil keputusan untuk berbagi apapun, termasuk berbagi kamar, tempat paling privasi, adalah sebuah keputusan besar.
Mau dikata apa lagi, saat telah datang seseorang, menawarkan hati sebagai rumah tempat kembali, dan keinginan membangun cinta setiap hari, apalagi dia adalah nama yang sudah lama terukir.
-----
Melihat kembali ke belakang, seseorang yang tidak pernah kuduga sebelumnya. Tak ada sapa akrab di awal, hanya sekedar lewat. Bahkan saat kami mulai saling melempar obrolan, semuanya terasa biasa saja. Terlampau biasa untuk sebuah rasa yang entah kenapa, dan entah sejak kapan, mulai menggangguku.
Ya..
Tak bisa kupungkiri bahwa dia telah lama menjadi hal yang kusemogakan, entah sejak kapan. Sering kuselipkan doa. Doa yang sebenarnya membuatku malu, bahkan selalu kuistighfari dalam hati. Sebuah kekalutan yang memaksa otak untuk menerka kejujuran, dan memaksa hati untuk menahan diri. Terlalu sulit mencari titik tengah.
Monolog dalam hati sering terjadi sebagai upaya negosiasi untuk mencari solusi. Bukan solusi sebenarnya, lebih pada pembenaran. Tapi akupun paham, aku tidak berada dalam prioritasnya, atau mungkin tidak berada dalam list perempuan idealnya, hanya perempuan biasa tanpa riasan dan kacamata yang tidak kekinian, baju kelonggaran, dan jilbab kelebaran. Dan lagi perempuan aneh yang tidak jelas pendiriannya, juga terlalu malu untuk mengungkapkan semuanya.
Tapi sekali lagi, rasa ini cukup menganggu. Dan rasa ini butuh pertanggungjawaban.
Malu-malu ku ucapkan doa, masih sama.
Semoga kelak saat ia sudah siap membangun rumah peradabannya sendiri, aku yang dipilih untuk membersamainya. Semoga kelak saat ia sudah siap untuk menggenap, aku yang menjadi pilihannya. Semoga kelak saat ia benar-benar mencari rumah tempat kembali, aku yang menjadi tujuannya.
Doaku terjawab.
Tiga puluh Juni, Arsy berguncang untuk sebuah perjanjian yang sangat kuat antara hamba dengan Tuhannya.
Dan rindu akhirnya terbayar tuntas setelah ucapan ikrar.
-----
Just another tulisan alay. Saat lagi maskeran sambil menunggu suami pulang futsal :)
Komentar