"kak, bagaimana caranya menjadi diri sendiri?"
Sebuah pertanyaan yang saya terima di inbox tumblr. Tidak pernah saya jawab sampai akhirnya saya putuskan untuk menulis di sini.
Mumpung awal tahun, sedang menyusun resolusi perbaikan diri untuk setahun ke depan insyaaAllah, saya coba jawab sebagai bentuk nasihat untuk diri sendiri juga.
Dulu saya sangat terobsesi dengan kalimat be your self. Awalnya karena saya tidak suka didikte oleh society tentang bagaimana seorang harus berpenampilan, bersikap, dll. Awalnya hanya ingin membebaskan diri dari standar penilaian sosial. Yang saya hampir lupa adalah, sebagai manusia,kita memiliki sisi baik dan sisi buruk dalam diri kita. Saat sisi baik yang sedang mendominasi maka menjadi diri sendiri itu bagus. Tapi jika sebaliknya, menjadi diri sendiri justru akan merugikan.
Merasa nyaman dengan diri sendiri itu perlu. Tapi jangan lupa bahwa kita juga terikat dengan norma, lingkungan, kepentingan orang lain, dll. Kadang kita dituntut untuk keluar dari zona nyaman.
Satu lagi hal yang harus diwaspadai dari jargon 'be your self'. Merasa nyaman dengan diri sendiri bisa membuat kita mengabaikan pandangan orang lain dan membuat kita malas untuk mendidik diri. Dengan alasan jadi diri sendiri, segala alasan ditoleransi. Padahal sebagai manusia yang punya tujuan hidup, mendidik diri sendiri mesti dijadikan agenda berkelanjutan dalam hidup. Dan itu mesti dengan upaya-upaya intensional, bukan berjalan secara autopilot.
Selain itu kita juga akan selalu terikat dengan persepsi dan pandangan orang lain. Kita tidak bisa memaksakan orang lain untuk melihat diri kita sebagaimana kita menilai diri kita sendiri. Pengalaman dan wawasan orang-orang tentang diri kita tidak selalu sama. Sehingga tidak perlu terlalu memikirkan apa yang orang lain bicarakan tentang kita kecuali itu sebuah kritik atau saran yang membangun.
Bagi saya sendiri, tantangan yang sering muncul dalam upaya saya membentuk, menerima, dan menghargai diri sendiri adalah perasaan inferior dan sering tidak sengaja membandingkan diri dengan orang lain.
Perasaan inferior, bagi saya bisa diatasi saat kita memiliki support system yang baik. Orang-orang di sekitar kita memiliki peran untuk menumbuhkan self esteem, atau setidaknya membuat kita merasa berharga. Selain itu, juga diperlukan dukungan dari dalam diri sendiri. Terus belajar untuk mengembangkan kepribadian dan berusaha untuk tidak terjebak dalam ruang prasangka sendiri. Serta berusaha membangun keberanian untuk menghadapi segala hal beserta konsekuensinya.
Dan pleasee, dear self, and all of you, jangan terbiasa membandingkan diri dengan orang lain. Apalagi jika itu hanya apa yang mereka bagikan melalui media sosial. Jangan membandingkan bagian terdalam dari dirimu dengan apa yang tampak di permukaan kehidupan orang lain.
Apa yang kita pandang indah, belum tentu bisa diterapkan ke diri kita. Saya suka melihat baju-baju bagus. Tapi saya sadar, bukan penampilan seperti itu yang saya inginkan. Dulu saya ingin sekali menjadi populer. Popularitas terlihat begitu menakjubkan di mata saya. Tapi lama-lama saya sadar, saya tidak nyaman dengan itu. Pada akhirnya alih-alih memperindah feed IG agar dapat banyak pengikut, saya menutup semua akun media sosial. Untuk menyederhanakan hidup dan mengurangi distraksi yang tidak perlu.
Setiap orang punya pengalamannya sendiri tentang bagaimana mencoba sesuatu yang terlihat bagus. Kita, generasi yang mendewasa dengan internet, setiap harinya terpapar oleh keindahan media sosial di internet. Tidak sedikit yang terjebak dalam pola hidup konsumtif dan mungkin hedonis. Saya tidak sedang menyalahkan media sosial. Setiap akun punya segmen pasarnya masing-masing. Juga punya tujuan masing-masing. Yang ingin saya tekankan adalah, milikilah standarmu sendiri, agar apapun yang kamu lihat di media sosial tidak lagi menyetir hati dan keinginan kamu. Saat kamu sudah memiliki standar, kamu jadi paham mana yang kamu butuhkan dan mana yang hanya sekedar hiburan.
Saya sendiri juga masih terus belajar untuk ini. Pada akhirnya, menjadi diri sendiri bukan hanya tentang bagaimana berpenampilan dan bersikap, tapi juga bagaimana memegang prinsip agar tidak mudah terbawa arus. Bagaimana mampu menempatkan diri sesuai tempat dan keadaan. Dan menjadi diri sendiri juga berarti bisa membedakan mana kritik yang membangun, mana yang ucapan yang perlu diabaikan. Jangan terlalu tenggelam pada persepsi orang lain, pun jangan terlalu percaya diri bahwa diri ini sudah baik. We humans never stop evolving. Perbaikan diri itu harus diupayakan secara kontinu. Kita tidak selamanya berada pada stage yang sama. Peningkatan level hidup menuntut peningkatan kualitas diri juga. Jangan pernah lelah belajar. Ciao!
--ika
Nb: Tulisan sebelumnya tentang kepercayaan diri pernah saya tulis di sini: Kepercayaan Diri.
Seperti biasaa, tulisannya ala ala kegalauan saat quarter life crisis, padahal mah udah selesai :D
Sebuah pertanyaan yang saya terima di inbox tumblr. Tidak pernah saya jawab sampai akhirnya saya putuskan untuk menulis di sini.
Mumpung awal tahun, sedang menyusun resolusi perbaikan diri untuk setahun ke depan insyaaAllah, saya coba jawab sebagai bentuk nasihat untuk diri sendiri juga.
Dulu saya sangat terobsesi dengan kalimat be your self. Awalnya karena saya tidak suka didikte oleh society tentang bagaimana seorang harus berpenampilan, bersikap, dll. Awalnya hanya ingin membebaskan diri dari standar penilaian sosial. Yang saya hampir lupa adalah, sebagai manusia,kita memiliki sisi baik dan sisi buruk dalam diri kita. Saat sisi baik yang sedang mendominasi maka menjadi diri sendiri itu bagus. Tapi jika sebaliknya, menjadi diri sendiri justru akan merugikan.
Merasa nyaman dengan diri sendiri itu perlu. Tapi jangan lupa bahwa kita juga terikat dengan norma, lingkungan, kepentingan orang lain, dll. Kadang kita dituntut untuk keluar dari zona nyaman.
Satu lagi hal yang harus diwaspadai dari jargon 'be your self'. Merasa nyaman dengan diri sendiri bisa membuat kita mengabaikan pandangan orang lain dan membuat kita malas untuk mendidik diri. Dengan alasan jadi diri sendiri, segala alasan ditoleransi. Padahal sebagai manusia yang punya tujuan hidup, mendidik diri sendiri mesti dijadikan agenda berkelanjutan dalam hidup. Dan itu mesti dengan upaya-upaya intensional, bukan berjalan secara autopilot.
Selain itu kita juga akan selalu terikat dengan persepsi dan pandangan orang lain. Kita tidak bisa memaksakan orang lain untuk melihat diri kita sebagaimana kita menilai diri kita sendiri. Pengalaman dan wawasan orang-orang tentang diri kita tidak selalu sama. Sehingga tidak perlu terlalu memikirkan apa yang orang lain bicarakan tentang kita kecuali itu sebuah kritik atau saran yang membangun.
Bagi saya sendiri, tantangan yang sering muncul dalam upaya saya membentuk, menerima, dan menghargai diri sendiri adalah perasaan inferior dan sering tidak sengaja membandingkan diri dengan orang lain.
Perasaan inferior, bagi saya bisa diatasi saat kita memiliki support system yang baik. Orang-orang di sekitar kita memiliki peran untuk menumbuhkan self esteem, atau setidaknya membuat kita merasa berharga. Selain itu, juga diperlukan dukungan dari dalam diri sendiri. Terus belajar untuk mengembangkan kepribadian dan berusaha untuk tidak terjebak dalam ruang prasangka sendiri. Serta berusaha membangun keberanian untuk menghadapi segala hal beserta konsekuensinya.
Dan pleasee, dear self, and all of you, jangan terbiasa membandingkan diri dengan orang lain. Apalagi jika itu hanya apa yang mereka bagikan melalui media sosial. Jangan membandingkan bagian terdalam dari dirimu dengan apa yang tampak di permukaan kehidupan orang lain.
Apa yang kita pandang indah, belum tentu bisa diterapkan ke diri kita. Saya suka melihat baju-baju bagus. Tapi saya sadar, bukan penampilan seperti itu yang saya inginkan. Dulu saya ingin sekali menjadi populer. Popularitas terlihat begitu menakjubkan di mata saya. Tapi lama-lama saya sadar, saya tidak nyaman dengan itu. Pada akhirnya alih-alih memperindah feed IG agar dapat banyak pengikut, saya menutup semua akun media sosial. Untuk menyederhanakan hidup dan mengurangi distraksi yang tidak perlu.
Setiap orang punya pengalamannya sendiri tentang bagaimana mencoba sesuatu yang terlihat bagus. Kita, generasi yang mendewasa dengan internet, setiap harinya terpapar oleh keindahan media sosial di internet. Tidak sedikit yang terjebak dalam pola hidup konsumtif dan mungkin hedonis. Saya tidak sedang menyalahkan media sosial. Setiap akun punya segmen pasarnya masing-masing. Juga punya tujuan masing-masing. Yang ingin saya tekankan adalah, milikilah standarmu sendiri, agar apapun yang kamu lihat di media sosial tidak lagi menyetir hati dan keinginan kamu. Saat kamu sudah memiliki standar, kamu jadi paham mana yang kamu butuhkan dan mana yang hanya sekedar hiburan.
Saya sendiri juga masih terus belajar untuk ini. Pada akhirnya, menjadi diri sendiri bukan hanya tentang bagaimana berpenampilan dan bersikap, tapi juga bagaimana memegang prinsip agar tidak mudah terbawa arus. Bagaimana mampu menempatkan diri sesuai tempat dan keadaan. Dan menjadi diri sendiri juga berarti bisa membedakan mana kritik yang membangun, mana yang ucapan yang perlu diabaikan. Jangan terlalu tenggelam pada persepsi orang lain, pun jangan terlalu percaya diri bahwa diri ini sudah baik. We humans never stop evolving. Perbaikan diri itu harus diupayakan secara kontinu. Kita tidak selamanya berada pada stage yang sama. Peningkatan level hidup menuntut peningkatan kualitas diri juga. Jangan pernah lelah belajar. Ciao!
--ika
Nb: Tulisan sebelumnya tentang kepercayaan diri pernah saya tulis di sini: Kepercayaan Diri.
Seperti biasaa, tulisannya ala ala kegalauan saat quarter life crisis, padahal mah udah selesai :D
Komentar