Sebenarnya tulisan sebelumnya itu mau menjelaskan tentang kedudukan perempuan dan laki-laki yang memiliki fitrah masing-masing, yang tidak bisa disamakan. Tapi seperti biasa, saya menulis karena hal tersebut punya kaitan dengan kehidupan saya. Jadi tulisan ini merupakan sambungan dari tulisan sebelumnya, yang walaupun mungkin agak tidak nyambung, tapi silakan dicari sendiri benang merahnya.
Jadi sudah kurang lebih setahun saya menempuh pendidikan magister saya. Beberapa orang kadang mempertanyakan tujuan saya menempuh pendidikan tinggi. Walaupun sekarang perempuan yang bertitel master, doktor atau profesor itu sudah biasa, tapi masih ada beberapa yang menganggap bahwa perempuan tidak perlu terlalu memikirkan masalah pendidikan tinggi karena tempat akhirnya adalah rumah dan dapur. Tidak perlu bertitel panjang karena nanti akan susah dapat jodoh. Tidak perlu kerja di luar karena tugasnya adalah melayani suami dan mendidik anak.
Iya, saya paham.
Tapi yang perlu diluruskan disini adalah tidak semua perempuan yang menempuh pendidikan tinggi, yang memilih bekerja di luar, adalah untuk mengejar karir, uang, eksistensi, atau karena tidak mau kalah dengan laki-laki. Harus dipahami bahwa ada perempuan-perempuan yang memiliki cita-cita yang bukan untuk kepentingannya sendiri, tapi untuk berkontribusi dan memberi manfaat bagi masyarakat. Ada perempuan yang memilih menjadi dokter agar perempuan lain tidak perlu merasa canggung berobat pada dokter laki-laki. Ada perempuan yang memilih menjadi tenaga pendidik karena ingin mencetak generasi cerdas. Dan masih banyak contoh lainnya.
Perempuan, utamanya yang telah menjadi istri dan ibu, pasti paham dengan tanggung jawabnya di rumah. Mengurus rumah tangga dan mendidik anak-anak adalah tugas utama yang tidak bisa ditinggalkan. Akan tetapi perempuan juga punya kesempatan untuk mengabdi di ranah publik, selama suami mengizinkan, dan tetap memperhatikan batasan-batasan syar'i.
Banyak yang berpikir bahwa mereka yang bekerja di luar akan menelantarkan tugasnya di rumah. Masyarakat kita masih sering membenturkan peran wanita di rumah dan publik. Padahal saya mengenal beberapa orang yang sukses mendidik anak-anaknya menjadi shalih dan shalihah walaupun tugasnya di luar rumah juga banyak. Walaupun dibalik itu tentu saja ada perjuangan yang lebih keras, dan tawakkal pada Allah yang lebih tinggi.
Yang harus dipahami juga, ijazah dan gelar bukan tujuan akhir dari sebuah pendidikan. Menjadi orang yang berilmu, menjadi pribadi yang berkualitas, menjadi manusia yang bermanfaat dan masih banyak tujuan positif lainnya. Saya sendiri belajar banyak dari bangku kuliah, entah dalam kelas dan di luar kelas. Saya belajar beradaptasi dengan lingkungan baru, belajar mengenal karakter manusia di sekeliling saya, belajar bersosialisasi dengan baik, belajar memperkaya sudut pandang, belajar berkontribusi untuk masyarakat, bahkan saya belajar berislam dengan baik pertama kali di bangku kuliah.
Mungkin akan ada yang bilang 'ini karena kamu masih sendiri, yang diurusin cuma diri sendiri, mahasiswa itu idealismenya tinggi karena belum tiba masa realistisnya'. Yap, bahkan sekarangpun saya masih sering keteteran karena manajemen waktu saya yang amburadul padahal tanggung jawab saya hanya diri saya sendiri. Sayapun masih butuh banyak belajar tentang ini. Mungkin ini juga alasan kenapa saya masih selalu merasa belum pantas mengambil amanah yang lebih berat. Karena saya sadar menikah bukan hanya tentang romansa dua manusia, menikah adalah ibadah, tanggung jawab, komitmen, dan pengabdian. Butuh kesiapan lahir batin untuk menghadapinya.
Ada juga yang bilang bahwa perempuan yang memilih bekerja di luar rumah merupakan potensi konflik dalam rumah tangga. Memang banyak kejadian seperti ini di sekitar kita. Tapi saya yakin, suami dan istri yang paham bagaimana kedudukannnya dalam rumah tangga, paham apa saja hak dan kewajiban yang melekat padanya, pasti bisa me-manage setiap konflik dengan baik. Inilah pentingnya ilmu sebelum amal. Pentingnya bekal sebelum beranjak.
Akhirnya mungkin orang-orang akan mengambil kesimpulan bahwa saya nantinya akan menjadi perempuan yang mengejar karir di luar rumah. Saya masih belum bisa menjawab. Walaupun saat ini cita-cita untuk bisa mengabdi di ranah publik itu ada (selama nanti suami masa depan saya mengizinkan) saya juga ingin menjadi ibu rumah tangga yang baik. Saya ingin menjadi orang pertama yang mengetahui tumbuh kembang anak saya, saya ingin menjadi orang yang mengajarkan cara shalat pada anak saya, saya ingin menjadi orang yang mengenalkan mereka pada agama, saya ingin menjadi orang yang membekali mereka dengan akidah yang kuat agar tidak mudah goyah dengan berbagai pemahaman di luar sana. Dan saya sadar ini bukan pekerjaan mudah.
Jadi, apapun pilihannya nanti, mau menjadi perempuan yang fokus mengurus rumah dan mendidik anak, atau mengambil peran di ranah publik, yang penting adalah bagaimana mempersiapkan diri dengan baik, agar apapun kondisinya nanti, perempuan bisa tetap menjalankan setiap perannya dengan optimal tanpa harus menggeser kodrat yang telah ditetapkan.
Teruslah berusaha untuk mendewasakan mental, menambah ilmu dan menjaga kesehatan fisik. Teruslah belajar untuk menjadi perempuan seutuhnya :)
Jadi sudah kurang lebih setahun saya menempuh pendidikan magister saya. Beberapa orang kadang mempertanyakan tujuan saya menempuh pendidikan tinggi. Walaupun sekarang perempuan yang bertitel master, doktor atau profesor itu sudah biasa, tapi masih ada beberapa yang menganggap bahwa perempuan tidak perlu terlalu memikirkan masalah pendidikan tinggi karena tempat akhirnya adalah rumah dan dapur. Tidak perlu bertitel panjang karena nanti akan susah dapat jodoh. Tidak perlu kerja di luar karena tugasnya adalah melayani suami dan mendidik anak.
Iya, saya paham.
Tapi yang perlu diluruskan disini adalah tidak semua perempuan yang menempuh pendidikan tinggi, yang memilih bekerja di luar, adalah untuk mengejar karir, uang, eksistensi, atau karena tidak mau kalah dengan laki-laki. Harus dipahami bahwa ada perempuan-perempuan yang memiliki cita-cita yang bukan untuk kepentingannya sendiri, tapi untuk berkontribusi dan memberi manfaat bagi masyarakat. Ada perempuan yang memilih menjadi dokter agar perempuan lain tidak perlu merasa canggung berobat pada dokter laki-laki. Ada perempuan yang memilih menjadi tenaga pendidik karena ingin mencetak generasi cerdas. Dan masih banyak contoh lainnya.
Perempuan, utamanya yang telah menjadi istri dan ibu, pasti paham dengan tanggung jawabnya di rumah. Mengurus rumah tangga dan mendidik anak-anak adalah tugas utama yang tidak bisa ditinggalkan. Akan tetapi perempuan juga punya kesempatan untuk mengabdi di ranah publik, selama suami mengizinkan, dan tetap memperhatikan batasan-batasan syar'i.
Banyak yang berpikir bahwa mereka yang bekerja di luar akan menelantarkan tugasnya di rumah. Masyarakat kita masih sering membenturkan peran wanita di rumah dan publik. Padahal saya mengenal beberapa orang yang sukses mendidik anak-anaknya menjadi shalih dan shalihah walaupun tugasnya di luar rumah juga banyak. Walaupun dibalik itu tentu saja ada perjuangan yang lebih keras, dan tawakkal pada Allah yang lebih tinggi.
Yang harus dipahami juga, ijazah dan gelar bukan tujuan akhir dari sebuah pendidikan. Menjadi orang yang berilmu, menjadi pribadi yang berkualitas, menjadi manusia yang bermanfaat dan masih banyak tujuan positif lainnya. Saya sendiri belajar banyak dari bangku kuliah, entah dalam kelas dan di luar kelas. Saya belajar beradaptasi dengan lingkungan baru, belajar mengenal karakter manusia di sekeliling saya, belajar bersosialisasi dengan baik, belajar memperkaya sudut pandang, belajar berkontribusi untuk masyarakat, bahkan saya belajar berislam dengan baik pertama kali di bangku kuliah.
Mungkin akan ada yang bilang 'ini karena kamu masih sendiri, yang diurusin cuma diri sendiri, mahasiswa itu idealismenya tinggi karena belum tiba masa realistisnya'. Yap, bahkan sekarangpun saya masih sering keteteran karena manajemen waktu saya yang amburadul padahal tanggung jawab saya hanya diri saya sendiri. Sayapun masih butuh banyak belajar tentang ini. Mungkin ini juga alasan kenapa saya masih selalu merasa belum pantas mengambil amanah yang lebih berat. Karena saya sadar menikah bukan hanya tentang romansa dua manusia, menikah adalah ibadah, tanggung jawab, komitmen, dan pengabdian. Butuh kesiapan lahir batin untuk menghadapinya.
Ada juga yang bilang bahwa perempuan yang memilih bekerja di luar rumah merupakan potensi konflik dalam rumah tangga. Memang banyak kejadian seperti ini di sekitar kita. Tapi saya yakin, suami dan istri yang paham bagaimana kedudukannnya dalam rumah tangga, paham apa saja hak dan kewajiban yang melekat padanya, pasti bisa me-manage setiap konflik dengan baik. Inilah pentingnya ilmu sebelum amal. Pentingnya bekal sebelum beranjak.
Akhirnya mungkin orang-orang akan mengambil kesimpulan bahwa saya nantinya akan menjadi perempuan yang mengejar karir di luar rumah. Saya masih belum bisa menjawab. Walaupun saat ini cita-cita untuk bisa mengabdi di ranah publik itu ada (selama nanti suami masa depan saya mengizinkan) saya juga ingin menjadi ibu rumah tangga yang baik. Saya ingin menjadi orang pertama yang mengetahui tumbuh kembang anak saya, saya ingin menjadi orang yang mengajarkan cara shalat pada anak saya, saya ingin menjadi orang yang mengenalkan mereka pada agama, saya ingin menjadi orang yang membekali mereka dengan akidah yang kuat agar tidak mudah goyah dengan berbagai pemahaman di luar sana. Dan saya sadar ini bukan pekerjaan mudah.
Jadi, apapun pilihannya nanti, mau menjadi perempuan yang fokus mengurus rumah dan mendidik anak, atau mengambil peran di ranah publik, yang penting adalah bagaimana mempersiapkan diri dengan baik, agar apapun kondisinya nanti, perempuan bisa tetap menjalankan setiap perannya dengan optimal tanpa harus menggeser kodrat yang telah ditetapkan.
Teruslah berusaha untuk mendewasakan mental, menambah ilmu dan menjaga kesehatan fisik. Teruslah belajar untuk menjadi perempuan seutuhnya :)