Langsung ke konten utama

Sampah pikiran: Depresi dan menumbuhkan empati

Ada thread menarik di milis awardee beberapa waktu lalu. Tentang isu mental health yang dialami sebagian awardee luar negeri dan dalam negeri. Baru kali ini saya benar-benar mengikuti diskusi dalam milis.

Seorang awardee menceritakan bagaimana pengalamannya melewati depresi dan percobaan bunuh diri. setelah mengikuti diskusi dan membaca blognya, ternyata banyak orang yang pernah mengalami mental health disorder ini. Mulai dari bipolar, depresi sampai ingin bunuh diri. Ada juga yang mengalami gejala bipolar akibat trauma bullying masa kecil.

To be brutally honest, saya dulunya memandang sebelah mata para penderita penyakit mental ini. Entah kenapa bagi saya mereka yang mengalami depresi hanya akibat kurang bersyukur saja, toh segala hal kalau disyukuri akan membuat hati kita lapang. Saya dulu punya teman yang broken home, dan saya merasa dia berlebihan dalam menyikapinya. Padahal mungkin karena waktu itu hidup saya ada dalam taraf aman. Keluarga yang hangat, perhatian yang cukup, rumah yang aman, dan berbagai privilege lain.  Sampai akhirnya, saya mendengar sendiri cerita dari orang terdekat saya tentang gangguan kesehatan mental: Mama saya. Ya, beliau pernah mengidap gangguan kesehatan mental.

Mama saya orangnya memang sangat penakut. Dulu beliau takut melihat ambulans, takut melihat orang berbaju putih dan hitam, suka meng-generate cerita buruk di kepala, tidak bisa tidur dan takut sendiri mendengar detak jam, dan sering berhalusinasi. Sampai sekarang pun masih penakut, tapi masih dalam taraf wajar (bagi saya sebenarnya gak wajar sih). Bahkan beliau sudah belasan tahun tidak pernah lagi bawa motor sendiri karena takut. Kemarin saya mengganti walpaper hpnya dengan gambar pemandang langit dan awan dari jendela pesawat, malah disuruh ganti karena beliau takut melihatnya.

Itulah kenapa saya berusaha menjadi baik-baik saja di depan beliau. Bahkan saat saya batuk pun, saya berusaha agar tidak terdengar saat kami ngobrol di telepon. Saat saya stres kuliah, saya berusaha santai dan bilang semuanya akan baik-baik saja. Saat malam sebelum saya berangkat ke Bandung, saya berusaha meyakinkan beliau bahwa saya baik-baik saja sendiri, padahal waktu itu saya baru divonis terkena penyakit paru-paru, belum lagi benjolan di leher yang belum membaik dan hidung saya masih sering mimisan dan keluar cairan. Dan saya akan pergi ke suatu tempat yang cukup jauh dan asing, sendiri. Haha. Saya bisa bayangkan betapa takutnya mama saya waktu itu. Bukan sekedar khawatir, tapi khawatir yang berlebihan sampai seperti orang ketakutan. Sekarangpun saat saya kuliah di Bogor, tidak terhitung berapa kali saya berusaha meyakinkan beliau bahwa saya baik-baik saja. Kadang Mama saya jengkel karena katanya saya terlalu berani, padahal saya juga sebal karena Mama saya terlalu penakut wkwk (seringnya karena saya suka bepergian sendiri dan sering pulang malam hehe)

Anyways, saya pernah bertanya, bagaimana perasaan beliau saat mengidap depresi. Beliau menjawab:
" Mama merasa hidup mama tidak berarti lagi. Mama hanya bisa merepotkan orang, dan tidak ada lagi orang yang butuh dengan Mama"

Saya bertanya lagi, apakah waktu itu punya niatan bunuh diri seperti penderita depresi kebanyakan.

"Mama masih mikirin kalian (saya dan kakak saya), kalian masih kecil waktu itu".

Beliau melanjutkan:

"Mama merasa jika Mama mati, semua masalah akan berakhir, tapi Mama masih takut mati. Takut menghadap Allah dengan dosa yang banyak."

Alhamdulillah, keimanan masih menyelamatkan Mama saya. Penting untuk mengerti konsep ketuhanan, konsep akhirat, biar kita punya tempat berpegang, tempat kembali. Dan benar memang bunuh diri bukan jalan keluar. Mati memang akan mengakhiri masalah kita di dunia. Tapi akan membawa kita ke masalah yang lain lagi. Sebagai muslim kita percaya sepenuhnya pada akhirat, alam kubur, hari pembalasan, hari perhitungan, dll. Nah mati akan memberi masalah baru kalau seandainya bekal kita belum cukup xD.

Kalau kita baca kitab shirah, di fase dakwah makkah, kita akan melihat bagaimana cobaan yang diterima kaum muslimin dari para kafir Quraisy yang akan bikin hati meringis. Disebutkan bahwa faktor pertama dan utama yang membuat para sahabat saat itu tetap bertahan dalam kondisi yang tidak manusiawi itu adalah keimanan.

Saya tidak bilang kalau mereka yang menderita depresi adalah orang-orang yang tidak beriman, karena penyakit mental bisa disebabkan oleh banyak hal, dan juga merupakan ujian dari Allah. Untuk itulah mereka juga butuh ditangani oleh ahli dalam hal ini psikolog atau psikiater. Disamping juga berusaha mendekatkan diri pada Allah. Alhamdulillah mama saya waktu itu mau dibawa ke psikiater sehingga bisa tertangani dengan baik. Karena banyak stigma negatif masyarakat terhadap penderita gangguan mental atau jiwa, sehingga banyak yang merasa malu dengan penyakitnya ini dan tidak tertangani dengan baik.

Saat Mama saya sakit, Papa saya memutuskan untuk berhenti melaut dan mulai bekerja di darat. Perihal ini saya pernah tanya ke Papa saya:
"Pa, dulu kan pernah kerja di darat waktu saya masih kecil, kok bisa?"

Papa saya menjawab:
"Dulu Mama kamu sakit dan Papa pikir ngapain kerja jauh-jauh kalau keluarga saya begini?"

Nah, ternyata dukungan dari orang terdekat juga penting bagi penderita gangguan mental. Saya ingat dulu saya pernah tinggal di Makassar dan Papa saya kerja kantoran.

Saat keadaan Mama saya mulai membaik, Papa saya memutuskan untuk kerja di laut lagi. Setelah sebelumnya memastikan bahwa Mama saya sudah sembuh.

Mama saya cerita:
"Saat Papa pergi lagi, yang Mama pikirkan adalah bagaimana agar kalian (saya dan kakak saya) tidak bersedih. Mama mencoba mengalihkan perhatian kalian agar tidak mengingat Papa lagi. Pulang sekolah kita mampir makan coto kesukaan kalian. Sampai di rumah istirahat lalu sorenya pergi ke TPA dan pulangnya kita beli es krim lagi. Mama berusaha membuat kalian ceria terus sampai akhirnya mama lupa dengan depresi Mama."

Saya percaya, membantu orang yang membutuhkan, berusaha membahagiakan orang lain, menjadi pendengar yang baik, dan berbuat hal-hal baik lainnya bisa menjadi salah satu penyembuh. Mama saya berusaha agar saya dan kakak saya bahagia, lalu lupa dengan depresinya karena beliau merasa berarti untuk orang lain. Dalam kehidupan sosial, membuat orang lain merasa berarti, dihargai, direspek keberadaannya, itu penting.

Mendengar cerita Mama saya, juga membaca cerita orang-orang lain yang terkena depresi membuat saya sadar pentingnya menumbuhkan empati pada orang-orang sekitar. Mungkin mereka tidak punya gangguan mental, tapi mereka jelas punya masalah.

Saya dulu suka kesal sendiri melihat orang-orang yang kerjaannya mengeluh terus seperti tidak punya rasa syukur (padahal saya juga sering mengeluh wkwk). Padahal saya harusnya paham bahwa kadar ketahanan orang beda-beda.

Saya melihat teman saya yang diuji sedemikian hebat, tapi masih baik-baik saja, sementara ada orang yang baru putus sama pacar sudah seperti orang gila. Padahal teman yang kehilangan ayahnya itu memang sudah lama mengikhlaskan hatinya karena ayahnya sudah sakit menahun. Sementara yang putus cinta itu sudah terbiasa jadi pusat perhatian jadi dia stres saat pacarnya selingkuh xD

Ada teman yang tidak puas dengan hasil belajarnya karena nilainya tidak ada yang A, padahal IPnya sangat bagus, tiga koma sekian sekian. Sementara saya 3 aja nggak nyampe wkwk. Sebenarnya bukan karena mereka tidak bersyukur, tapi memang kadar keterbiasaan orang beda-beda. Jelas saja saya baik-baik saja dengan IP segitu (walopun sebenarnya deg-degan), nah sebelumnya juga saya beberapa kali dapat IP dua koma. Sementara seorang cumlauders yang sudah terbiasa dengan nilai sempurna atau hampir sempurna akan merasa gagal saat dia tidak bisa mencapai apa yang sudah biasa dia capai sebelumnya.

Saya coba bercermin pada diri sendiri, jangankan orang lain, sayapun kadang menganggap remeh masalah saya setelah saya berhasil melewatinya. Kadang saya menengok ke masa lalu dan bilang 'kok lebay sih', 'hidupku kok drama sekali', 'haduh jadi orang menye-menye banget ya aku'. Wkw Jadi kadang saya merasa tidak perlu menceritakan masalah saya ke orang lain karena saya pikir mereka juga akan menertawakan saya. Tapi di sisi lain saya senang jika ada yang mau menceritakan masalahnya pada saya, artinya mereka percaya pada saya.

Setiap ada teman yang menceritakan kekhawatirannya atau curhat masalah apapun ke kita, berusahalah untuk tidak men-judge apalagi bilang kalau masalah mereka hanya masalah receh. Berusahalah untuk memahami posisi mereka, karena setiap orang butuh didengar tanpa dijudge macam-macam. Posisikan diri sebagai sahabat. Jika memang yang bersangkutan salah di mata kita, benarkan dengan cara yang baik tanpa harus menghakimi.

Beberapa teman yang membaca ini mungkin akan bilang: kamu juga sering loh kayak gitu, Ika. Curhat ke orang yang punya beban lebih banyak daripada kamu. Dan mencibir orang yang curhat ke kamu.
Jadi teruntuk siapapun, maaf kalau saya pernah ngomong terlalu kasar saat kalian curhat, atau saya yang curhat tidak pada tempatnya. Maaf lahir bathin.

Berbuat kebaikan sebenarnya bisa menjadi terapi self healing (ini teori sendiri sih berdasarkan pengalaman). Dengan syarat kita tidak boleh berekspektasi bahwa orang yang kita baikin harus membalas kebaikan kita nanti. Itu tidak ikhlas namanya wkwk. Walau sekedar ucapan terima kasih, jangan pernah mengharapkan apa-apa. Karena bentuk balasan apapun akan mengikis keikhlasan kita dan ujung-ujungnya bikin kita berbuat baik hanya karena ada maunya. Kita berbuat baik karena kita senang melihat orang senang, kita meletakkan kebahagiaan kita pada kebahagiaan mereka. Toh menyenangkan hati oeang lain juga merupakan salah satu amal yang dicintai Allah.

Dan untuk siapapun yang sedang diuji dengan depresi atau masalah apapun itu, jangan pernah malu menceritakan atau mem8nta bantuan dengan orang yang kamu percaya. Kita tidak pernah tau dari arah mana Allah memberikan jalan keluar.

Sejujurnya saya sempat khawatir loh saat saya stres, atau emosi saya naik atau turun tanpa sebab. Saya takut kena gangguan mental juga karena katanya penyakit ini menurun wkwk xD. Tapi satu hal yang ingin saya tekankan, saya tidak malu karena Mama saya pernah terkena gangguan mental, karena saya tau persis kejadian di balik itu. Beliau adalah salah satu perempuan tangguh yang pernah saya kenal. Dan semoga ketangguhannya yang diturunkan pada saya. Hehe.

Dan begitulah, maaf kalau tulisan ini tidak karuan dan tidak teratur. Seperti biasa, hanya ingin menyampaikan uneg-uneg, dan mengingatkan diri sendiri.



Salam semangat :)
-Ika, yang terlalu banyak omong-

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Glimpse of Memorable Memories

I am writing this with Kiss the Rain and Stay in Memory by Yiruma playing in Youtube. It seriously making me baper . I am trying to remember every single thing we've been through together in the past 3 months. But this is not gonna be a long post that show every details. It's just the voice of  my heart (I don't know how to say curahan hati in English). Sorry if there are some things missed. Our story started at 29th of November 2015. In the day before the opening of our course program, we decided to meet in the gate of ITB for looking for a language center building. There were only 8 of us. Some of us maybe already knew each other because we came from the same region. But mostly, that was our first meet. Oh yes, I already met Cintya the beautiful moon accidentally in Juanda airport before. The next day, we finally met each other. All of us. I remember we sat in the front, introduced our name and the place where we came from. I also remember the Jembernese came togethe...

Perempuan, jodoh dan S2.

Kemarin saya dan Mama saya ngobrol santai di meja makan. Tiba-tiba bahasannya menyerempet ke arah jodoh. Sebenarnya saya selalu menghindari topik macam begini dengan keluarga saya. " Kamu kalau udah umur 25 belum nikah, udah susah cari jodoh nanti. S2 lagi" Tante saya juga pernah bilang : "Kamu nggak mau sama si X? Dia S2 juga loh" Wkwk xD Ada yang perlu saya luruskan disini: Saya tidak pernah menganggap kuliah sebagai sarana mencari ijazah lalu pamer gelar dan lantas pilih-pilih teman apalagi jodoh. Allah tidak menilai orang dari ijazah, lantas saya siapa mau pilih suami dari strata pendidikan? Wkwk. Alasan saya melanjutkan studi S2 bukan biar uang panai jadi tinggi macam yang di meme itu xD. Bahkan kalau misalnya saya juga menganggap diri saya sebuah barang yang bisa dilabeli dengan harga, saya juga tidak akan melabeli diri saya dengan harga tinggi. Kenapa? Saya yang tau  diri saya dengan semua kekurangannya. Dari segi akademik saya bukan mahasiswa yan...

Pada Deretan Huruf

Pada deretan huruf, aku tuliskan cerita. Tentang kita yang menyapa pagi, meramu siang, dan menghimpun malam. Kita yang sebelumnya tak saling kenal, dunia kita tak bersentuhan, lingkaran kita tak beririsan, lantas dipertemukan dalam suatu epidode yang mengakrabkan kita dengan cara istimewa. Pada deretan huruf, aku abadikan kisah. Tentang kau dan aku yang beda, yang tak serupa, tapi berjalan beriringan. Setiap kata merapalkan kejujuran, bahwa setiap beda tak mesti bertentang. Hal yang kadang membuat kita berdebat, nyatanya tetap bisa membuat kita tertawa bersama. Pada deretan huruf, aku rekam setiap momen. Tentang kau yang memahamkanku bahwa dunia bukanlah ruang sempit. Ia tak melulu tentang barat dan timur, atau utara dan selatan. Kau pula yang memahamkanku bahwa kita adalah bagian dari milyaran manusia, yang tertakdir bertemu disini. Pada deretan huruf, aku bekukan kenangan. Tentang kita yang selalu berceloteh bahwa hari seperti dilipat, dan harapan agar ia bisa sedikit melambat....