Langsung ke konten utama

Semester Dua.


Semester ini dimulai dengan kepercayaan diri yang sudah hancur berantakan. Perlahan-lahan menata hati kembali, belajar menerima keadaan dan berusaha lebih keras lagi. Semester ini seperti ujian tersendiri bagi mental saya. Saya yang selalu kagok bicara di depan umum, lantas dihadapkan dengan bejibun presentasi. Saya mengambil dua supporting courses di luar Mipa, mata kuliah ilmu sosial yang menuntut untuk berpikir kritis dan berani mengemukakan pendapat. Sesuatu yang selalu saya hindari, nyatanya harus saya hadapi selama semester ini. setelah saya hitung-hitung, saya memiliki 9 jadwal presentasi! Untuk seseorang yang satu saja sudah cukup membebani, 9 presentasi itu keterlaluan! Bukan, bukan presentasinya yang keterlaluan, saya yang keterlaluan karena belum bisa melatih diri menjadi lebih berani.

Belum lagi masalah IPK yang bikin kepercayaan diri dan hati saya hancur berantakan. Padahal saat kuliah S1 beberapa kali saya dapat IP dua koma, tapi sekarang rasanya kok beda? semacam ada pahit-pahitnya gitu xD. Saya memang bukan mahasiswa pintar yang otaknya cemerlang bin encer, tapi saya juga nggak bego-bego amat kok xD. Walaupun memori saya jangka pendek jadi sering lupa, dan rasa panik menjelang ujian sering mengganggu konsentrasi saya, tapi saya tetap rajin belajar kok (gak nyambung). Dan parahnya tidak jarang saya harus berhadapan dengan emosi-emosi yang tidak tau datangnya dari mana. Kadang seperti rindu sesuatu, seperti sedih yang tiba-tiba, kadang juga seperti marah, yang mau tidak mau, harus saya lepaskan dengan menangis (ini mungkin efek kurang dzikir).

Semester ini saya harus berusaha melawan diri sendiri. Melawan segala pikiran-pikiran negatif yang selalu saja berhasil masuk. Belajar mengelola ekspektasi agar tidak terlalu kecewa, juga belajar untuk bisa menguasai diri dalam kondisi terburuk. Susah? iya, susah. Tidak jarang kata-kata takut, cemas, pesimis, keluar dari mulut saya (kalau tidak keluar lewat mulut berarti saya simpan dalam hati). Tidak jarang otak saya membangun cerita tentang kondisi terburuk yang mungkin terjadi. Tidak jarang saya merutuki diri sendiri. Sangat susah hidup sebagai pesimis realistis di era millenial yang penuh dengan kompetisi (?).

Ya, sangat susah, dan kadang saya lelah.

Sampai akhirnya saya sampai pada kesimpulan: masalahnya bukan pada presentasi saya yang jelek atau ujian saya yang amburadul, tapi sikap saya dalam menghadapi keduanya. Sebelum presentasi, saya sudah menyiapkan diri dengan baik, sebelum ujian saya sudah belajar dengan maksimal, lalu bagaimanapun model presentasi saya, atau apapun yang terjadi saat ujian, setelah semuanya selesai, tidak ada lagi yang bisa saya lakukan kecuali belajar menata hati agar bisa ikhlas dengan apapun hasilnya. Urusan hasil itu tidak dalam kendali saya lagi.

Dan akhirnya, hari ini, setelah semua nilai diumumkan, dan walaupun nilai saya tidak sementereng dan secemerlang teman-teman lain, saya tetap amat sangat bersyukur, dan ingin berterima kasih.. pada diri sendiri. Untuk tetap bisa menguasai diri dalam menghadapi semua presentasi dan ujian meskipun dilalui dengan jantung berdebar dan telapak tangan yang mandi keringat, untuk segala usaha melawan ketakutan dan pikiran negatif lainnya, dan untuk tetap berusaha menjaga prasangka baik, seburuk apapun kondisi yang telah dilewati.

Lalu, target selanjutnya? Menahan lisan dari berkeluh, melatih keberanian, memupuk percaya diri, dan tetap berusaha keluar dari lubang pesimisme :)

bismillah.


Postingan populer dari blog ini

Glimpse of Memorable Memories

I am writing this with Kiss the Rain and Stay in Memory by Yiruma playing in Youtube. It seriously making me baper . I am trying to remember every single thing we've been through together in the past 3 months. But this is not gonna be a long post that show every details. It's just the voice of  my heart (I don't know how to say curahan hati in English). Sorry if there are some things missed. Our story started at 29th of November 2015. In the day before the opening of our course program, we decided to meet in the gate of ITB for looking for a language center building. There were only 8 of us. Some of us maybe already knew each other because we came from the same region. But mostly, that was our first meet. Oh yes, I already met Cintya the beautiful moon accidentally in Juanda airport before. The next day, we finally met each other. All of us. I remember we sat in the front, introduced our name and the place where we came from. I also remember the Jembernese came togethe...

Perempuan, jodoh dan S2.

Kemarin saya dan Mama saya ngobrol santai di meja makan. Tiba-tiba bahasannya menyerempet ke arah jodoh. Sebenarnya saya selalu menghindari topik macam begini dengan keluarga saya. " Kamu kalau udah umur 25 belum nikah, udah susah cari jodoh nanti. S2 lagi" Tante saya juga pernah bilang : "Kamu nggak mau sama si X? Dia S2 juga loh" Wkwk xD Ada yang perlu saya luruskan disini: Saya tidak pernah menganggap kuliah sebagai sarana mencari ijazah lalu pamer gelar dan lantas pilih-pilih teman apalagi jodoh. Allah tidak menilai orang dari ijazah, lantas saya siapa mau pilih suami dari strata pendidikan? Wkwk. Alasan saya melanjutkan studi S2 bukan biar uang panai jadi tinggi macam yang di meme itu xD. Bahkan kalau misalnya saya juga menganggap diri saya sebuah barang yang bisa dilabeli dengan harga, saya juga tidak akan melabeli diri saya dengan harga tinggi. Kenapa? Saya yang tau  diri saya dengan semua kekurangannya. Dari segi akademik saya bukan mahasiswa yan...

Pada Deretan Huruf

Pada deretan huruf, aku tuliskan cerita. Tentang kita yang menyapa pagi, meramu siang, dan menghimpun malam. Kita yang sebelumnya tak saling kenal, dunia kita tak bersentuhan, lingkaran kita tak beririsan, lantas dipertemukan dalam suatu epidode yang mengakrabkan kita dengan cara istimewa. Pada deretan huruf, aku abadikan kisah. Tentang kau dan aku yang beda, yang tak serupa, tapi berjalan beriringan. Setiap kata merapalkan kejujuran, bahwa setiap beda tak mesti bertentang. Hal yang kadang membuat kita berdebat, nyatanya tetap bisa membuat kita tertawa bersama. Pada deretan huruf, aku rekam setiap momen. Tentang kau yang memahamkanku bahwa dunia bukanlah ruang sempit. Ia tak melulu tentang barat dan timur, atau utara dan selatan. Kau pula yang memahamkanku bahwa kita adalah bagian dari milyaran manusia, yang tertakdir bertemu disini. Pada deretan huruf, aku bekukan kenangan. Tentang kita yang selalu berceloteh bahwa hari seperti dilipat, dan harapan agar ia bisa sedikit melambat....