Hari ini saya kehilangan sendal kesayangan yang sudah bersama saya kurang lebih 4 bulan. Kemalingan. Hehe. Tiba-tiba saya sadar, saya juga tidak punya sepatu lagi di kosan. Udah dikasih ke ibu kos pas pindahan karena dikira udah nggak dipake lagi :'').
Tiba-tiba teringat cerita Papa dulu waktu beliau sekolah di tingkat SMA. Waktu itu ke sekolah cuma pakai sendal, naik kelas 2 baru dibelikan sepatu baru. Saking senangnya punya sepatu baru, tiap pulang sekolah sepatunya dikardusin lagi dan ditaruh di atas lemari. Sampai akhirnya dimakan tikus di atas lemari dan ke sekolah terpaksa pakai sendal lagi xD.
Setiap kali orang tua saya bercerita tentang pengalaman sekolah dan pegalaman kuliahnya, mereka selalu mengajarkan saya untuk bersyukur. Betapa kehidupan saya dipenuhi dengan kemudahan dan kelapangan. Saya bisa sekolah dan kuliah dengan fasilitas memadai. Meskipun sempat beberapa kali berada dalam krisis sampai Mama saya harus pinjam uang untuk kiriman bulanan saya, tapi saya tidak pernah hidup dalam kekurangan. Orang tua saya selalu berusaha mencukupi kebutuhan saya dan mereka juga selalu berpesan agar saya selalu bersyukur.
Keluarga saya pernah diuji dengan kesempitan dan kelapangan. Dan saya pernah berada dalam fase sangat boros, pun pernah dalam fase sangat hemat. Disini saya belajar satu hal: bagaimana seharusnya kita bersyukur dalam kesempitan dan bersabar dalam kelapangan. Dalam hal ini saya berbicara soal harta.
Bersyukur dalam kesempitan akan membuat kita merasa tercukupi, pantang mengeluh dan terhindar dari hal-hal yang haram. Sedangkan bersabar dalam kelapangan membantu kita untuk menahan diri dari membelanjakan harta yang bukan pada tempatnya sehingga kita bisa mengeluarkannya sesuai haknya. Apakah saya sudah bisa menjalankan keduanya? Saya rasa belum, tapi semoga saya bisa terus belajar :).
Saya hidup dalam keluarga yang berkecukupan, meskipun tidak kaya. Usia Papa saya sudah diatas 60 tapi masih harus kerja di kapal dan terpisah dari keluarga. Berbagai usaha untuk punya penghasilan di darat sudah beliau coba tapi qadarullah selalu gagal. Terakhir toko keluarga kami harus tutup karena bangkrut. Beliau selalu mendidik saya untuk bijak dalam mengelola harta dan berusaha untuk tidak terjebak dalam perilaku boros (walaupun anak perempuannya ini kadang bandel dan suka beli-beli sembarangan wkwk). Apalagi di era sekarang, nafsu belanja semakin terfasilitasi: internet yang mudah dan murah, menjamurnya online shop, kemudahan pilihan transaksi pembayaran, dan metode promosi yang sudah bergeser ke cara endorsement. Perlu kesabaran saat semua fasilitas itu ada di tanganmu, plus uang di rekeningmu :)
Bicara tentang perkara ini, saya teringat tulisan mbak Apik di blognya:
Katanya, istri itu magnet rejeki kan? Saya setuju, tapi istri juga bisa jadi magnet atas rejeki yang nggak halal itu datang.
Jangan bosan, untuk kita sebagai perempuan supaya terus mengupgrade diri dan pengetahuan kita tentang halal haram harta. Terus belajar jadi alarm bagi pekerjaan suami, mengingatkan untuk berzakat dan sedekah, dan menguatkan kalau-kalau perlu hijrah -meski harus meninggalkan jabatan, harta dan hal duniawi lainnya kalau ternyata... iklim kerjanya malah mendekatkan keluarga pada hal-hal yang haram.
Jangan bosan menekan ego dan nafsu kepengen ini kepengen itu supaya nggak menstimulasi suami untuk mengerjakan hal yang nggak-nggak. Jangan bosan untuk terus bersyukur atas berapapun dan apapun pemberian suami.
Jangan bosan untuk mendidik diri dan keluarga untuk memahamkan bahwa rejeki yang baik bukan yang banyak melainkan yang berkah :).
Karena mbak Apik udah nikah, jadi konteksnya ke suami. Bagi kita mungkin konteksnya ke Ayah atau siapapun yang bertanggung jawab terhadap nafkah keluarga.
Mungkin juga bisa dijadikan pelajaran bagi yang belum menikah. Betapa utuhnya seorang perempuan jika kelak ia bisa mendukung suaminya dalam mencari nafkah halal, dan suaminya tidak perlu khawatir karena tau istrinya bisa diandalkan dalam menjaga dan membelanjakan hartanya, serta selalu merasa cukup dengan bersyukur.
Jangan pernah berhenti berbenah ya, ika :)
ps: kamu bisa kembali membaca postingan ini kapanpun kamu mulai merasa lupa diri.
Tiba-tiba teringat cerita Papa dulu waktu beliau sekolah di tingkat SMA. Waktu itu ke sekolah cuma pakai sendal, naik kelas 2 baru dibelikan sepatu baru. Saking senangnya punya sepatu baru, tiap pulang sekolah sepatunya dikardusin lagi dan ditaruh di atas lemari. Sampai akhirnya dimakan tikus di atas lemari dan ke sekolah terpaksa pakai sendal lagi xD.
Setiap kali orang tua saya bercerita tentang pengalaman sekolah dan pegalaman kuliahnya, mereka selalu mengajarkan saya untuk bersyukur. Betapa kehidupan saya dipenuhi dengan kemudahan dan kelapangan. Saya bisa sekolah dan kuliah dengan fasilitas memadai. Meskipun sempat beberapa kali berada dalam krisis sampai Mama saya harus pinjam uang untuk kiriman bulanan saya, tapi saya tidak pernah hidup dalam kekurangan. Orang tua saya selalu berusaha mencukupi kebutuhan saya dan mereka juga selalu berpesan agar saya selalu bersyukur.
Keluarga saya pernah diuji dengan kesempitan dan kelapangan. Dan saya pernah berada dalam fase sangat boros, pun pernah dalam fase sangat hemat. Disini saya belajar satu hal: bagaimana seharusnya kita bersyukur dalam kesempitan dan bersabar dalam kelapangan. Dalam hal ini saya berbicara soal harta.
Bersyukur dalam kesempitan akan membuat kita merasa tercukupi, pantang mengeluh dan terhindar dari hal-hal yang haram. Sedangkan bersabar dalam kelapangan membantu kita untuk menahan diri dari membelanjakan harta yang bukan pada tempatnya sehingga kita bisa mengeluarkannya sesuai haknya. Apakah saya sudah bisa menjalankan keduanya? Saya rasa belum, tapi semoga saya bisa terus belajar :).
Saya hidup dalam keluarga yang berkecukupan, meskipun tidak kaya. Usia Papa saya sudah diatas 60 tapi masih harus kerja di kapal dan terpisah dari keluarga. Berbagai usaha untuk punya penghasilan di darat sudah beliau coba tapi qadarullah selalu gagal. Terakhir toko keluarga kami harus tutup karena bangkrut. Beliau selalu mendidik saya untuk bijak dalam mengelola harta dan berusaha untuk tidak terjebak dalam perilaku boros (walaupun anak perempuannya ini kadang bandel dan suka beli-beli sembarangan wkwk). Apalagi di era sekarang, nafsu belanja semakin terfasilitasi: internet yang mudah dan murah, menjamurnya online shop, kemudahan pilihan transaksi pembayaran, dan metode promosi yang sudah bergeser ke cara endorsement. Perlu kesabaran saat semua fasilitas itu ada di tanganmu, plus uang di rekeningmu :)
Bicara tentang perkara ini, saya teringat tulisan mbak Apik di blognya:
Katanya, istri itu magnet rejeki kan? Saya setuju, tapi istri juga bisa jadi magnet atas rejeki yang nggak halal itu datang.
Jangan bosan, untuk kita sebagai perempuan supaya terus mengupgrade diri dan pengetahuan kita tentang halal haram harta. Terus belajar jadi alarm bagi pekerjaan suami, mengingatkan untuk berzakat dan sedekah, dan menguatkan kalau-kalau perlu hijrah -meski harus meninggalkan jabatan, harta dan hal duniawi lainnya kalau ternyata... iklim kerjanya malah mendekatkan keluarga pada hal-hal yang haram.
Jangan bosan menekan ego dan nafsu kepengen ini kepengen itu supaya nggak menstimulasi suami untuk mengerjakan hal yang nggak-nggak. Jangan bosan untuk terus bersyukur atas berapapun dan apapun pemberian suami.
Jangan bosan untuk mendidik diri dan keluarga untuk memahamkan bahwa rejeki yang baik bukan yang banyak melainkan yang berkah :).
Karena mbak Apik udah nikah, jadi konteksnya ke suami. Bagi kita mungkin konteksnya ke Ayah atau siapapun yang bertanggung jawab terhadap nafkah keluarga.
Mungkin juga bisa dijadikan pelajaran bagi yang belum menikah. Betapa utuhnya seorang perempuan jika kelak ia bisa mendukung suaminya dalam mencari nafkah halal, dan suaminya tidak perlu khawatir karena tau istrinya bisa diandalkan dalam menjaga dan membelanjakan hartanya, serta selalu merasa cukup dengan bersyukur.
Jangan pernah berhenti berbenah ya, ika :)
ps: kamu bisa kembali membaca postingan ini kapanpun kamu mulai merasa lupa diri.
Komentar